Disebutkan bahwa sistem pemerintahan di masa Khulafa
Rasyidin bisa dikatakan menganut sistem sosialis (isytirakiyah), seperti akan
nampak jelas pada uraian pembahasan sistem keuangan negara tersebut.
Sumber kekayaan utama sistem ini dari sisi keuangan adalah
sumber pemasukannya, dimana negara memusatkan perhatiannya dan menjadikan
sebuah masyarakat yang cenderung kepada sistem sosialis, yang memiliki ciri
utama sebagian besar tanah adalah milik negara. Tapi sebagian tanah tetap milik
perorangan apabila pemilikannya sebelum terjadinya futuhat.
Sistem keuangan ini juga bercirikan bahwa semua orang
semestinya hidup dalam tingkat kehidupan yang standar dan wajar, tidak hidup
mewah dan tidak turun dibawah garis kemiskinan. Negara hendaknya memperhatikan
nasib kaum fakir miskin dan memberi haknya. Inilah sistem Islam yang diletakkan
atas dasar Al-Quran dan sunnah. Setidaknya sistem ini mendapat uraian terinci
pada masa khalifah Umar bin Al-Khathab yang memanfaatkan pengelolaan
wilayah-wilayah yang dibuka (futuhaat) dan sistem didalamnya. Sampai sistem ini
mapan dan matang dengan perkembangan pemikiran Islam dan kebutuhan
daerah-daerah yang dibebaskan tersebut.
Negara-negara yang tadinya dibawah kekuasaan Romawi dan
Parsi masa dahulu wajib membayar pajak dalam jumlah yang Besar, walau seluruh
rakyatnya tidak membayar pajak. Ada lapisan tertentu di masyarakat yang tidak
menunaikan apapun ke lumbung negara, tapi ada lapisan lain yang memberikan pajak
hartanya kepada orang lain yang menyandarkan hidup darinya, mereka adalah
pemuka agama. Dan pajak-pajak tersebut banyak jenisnya pada tanah-tanah
tersebut yang amat dirasakan oleh rakyat, dimana mereka wajib menyerahkan
kepada penguasa apa-apa yang menjadi penghidupannya berupa bulir-bulir bijian
yang banyak. Sedang mereka bekerja dan menyerahkan hasil pekerjaannya
seluruhnya seakan-akan hal itu sesuap makanan bagi mereka.
Kemudian datanglah masa pembebasan (futuhat), maka kaum
muslimin menguasai mayoritas tanah-tanah tersebut yang tadinya dibawah
kekuasaan Parsi dan Romawi. Tadinya dalam ketentuan hukum pembebasan (fath) dan
peperangan bahwa tanah-tanah dan apa-apa yang ada di dalamnya adalah milik para
tentara pembebas (al- faatihun), namun beberapa shahabat yang ikut serta dalam
pembebasan tersebut, terutama dari para pembesar-pembesarnya seperti Saad bin
Abi Waqash, Abu ‘Ubaidahidah, dan Amru bin Ash memohon tanah-tanah tersebut
dibagi-bagi diantara mereka sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya di tanah
Khaibar. Maka mereka minta izin dan restu dari para penguasa wilayah dibawah
Khalifah Umar bin Al-Khattab tentang perkara ini. Maka Umar mempertimbangkan
pendapatnya dalam persoalan ini sebagai berikut: “jika tanah-tanah itu dibagi
sesama tentara pembebas (fatihin), maka apa Yang tersisa untuk yang datang
sesudahnya? Dan apa yang tersisa dari harta benda untuk membiayai futuhat
selanjutnya? Dan apa nasib para pembebas (fatihin) sedang mereka harus
memperhatikan lanah-tanah mereka, menanaminya dan mengelolanya, sehingga mereka
akan terbuai lupa akan futuhat mendatang?”
Realitanya, bahwa masalah ini amatlah sangat penting, dan
Umar bin Al-Khathab sebelumnya telah mempertimbangkannya dari sisi kemaslahatan
agama dan kemaslahatan umat, walau persoalan sebenarnya bahwa para pembebas
(fatihin) itu berhak untuk membagi tanah-tanah tersebut, tapi apakah hal itu
sejalan dengan Fuh Islam?
Sehingga masalah ini menyita waktu cukup besar bagi Umar
untuk memikirkannya secara luas. Dan sungguh baginya untuk memenangkan ruh
Islam tanpa melanggar teks Al-Quran dan Sunnah. Maka segera ia kembali kepada Al-Quran
dan didapatkannya dua ayat, salah satunya menetapkan pembagian tanah pembebasan
yang biasanya menyambung dengan suatu daerah dan tanah khusus. Sedang ayat lain
mengisyaratkan kepada satu macam yang terbilang dan mencakup umat seluruhnya.
Dan telah disebutkan pada satu konteks tertentu bahwa tanah tersebut tidak
menyambung dengan perkampungan tertentu melainkan dengan seluruh perkampungan,
jadi yang terjadi disini adalah disamaratakan tanpa ada pembatasan. Allah Swt
berfirman:
“Apa saja harta rampasan (fa'i) yang diberikan Allah
kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang
kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. Juga bagi para fuqara yang
berhijrah yang diusir dari kampong halaman dan dari harta benda mereka (karena)
mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan
RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang
yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin) dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun
mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang
yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih
dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman: Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun
lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini berkaitan dengan fai' dari penduduk desa secara
umum, bukan dari desa tertentu seperti termaktub di dalam Al-Quran untuk
kondisi tertentu. Dan ayat mencakup semua lapisan kaum baik fakir, miskin,
orang dalam perjalanan (musafir), muhajirin dan anshar kemudian mereka yang
datang setelahnya yaitu mencakup umat Islam. Pada ayat ini Umar bin Al-Khathab
merenung dan berkomentar: Hendaknya seluruh tanah-tanah tersebut tetap
diperuntukan umat dan dari mereka semua tanah¬tanah tersebut ditahan.
Namun ada beberapa sahabat yang tidak sependapat, mereka
tetap berpegang pada ayat yang mengizinkan pembagian tanah seperti peristiwa
Khaibar, di antaranya Abdurrahman bin 'Auf, Zubair, dan Bilal bin Rabaah.
Adapun Bilal yang paling keras didalam hal ini, dimana menentang penahanan
tanah-tanah pembebasan dari tangan kaum muslimin.
Dan Umar belum mampu melobi para sahabat walaupun berada
disamping pendapatnya beberapa sahabat lainnya seperti Ali bin Abi Thalib,
Utsman, Mu'adz, Abdullah bin Umar dan Thalhah.
Sampai akhirnya Umar terpaksa mengambil ketetapan hukum
kepada kaum Anshar, maka mereka memilih lima orang dari suku Aus dan lima lagi
dari suku Khazraj dan sang khalifah memaparkan kepada mereka letak perbedaan
pendapat serta disebutkan juga bahaya yang mungkin terjadi dari pembagian
tanah-tanah hasil pembebasan kepada tentara pembebas (fatihin), sehingga mereka
menimbang-nimbangnya kemudian berkata: "Pendapat terbaik adalah apa yang
kau lihat wahai Amirul Mukminin" Dari sinilah terjadi kestabilan opini
dari apa yang telah ditemukan Umar bin Al-Khathab dalam kejeniusan akalnya dan
pemahamannya terhadap ruh syariah.
Dan Umar menulis surat kepada wilayah-wilayah (amshor) apa
yang telah tetap dari pendapat tentang masalah ini, dan beliau katakan: “Para
tentara pembebas (fatihun) akan mengambil bagiannya dari harta rampasan perang
(ghanaim), adapun tanah yang dibebaskan tetap milik kaum muslimin seluruhnya,
yang mana diambil hasil dan produknya dan dibagi kepada umat.”
Dan kesulitan kedua yang dihadapi Umar datang dari pembagian
devisa (pemasukan) negara. Apa saja dasar yang wajib dikonsentrasikan dalam
pembagian devisa tersebut.? Apakah harta dibagikan kepada semua orang dengan
merata? Dan pendapat Umar condong kepada pembagian berdasarkan kedudukan dan
kelas masing-masing dari mereka. Kata Umar: “Sungguh saya tidak berpendapat
bahwa orang yang berhijrah bersama Rasulullah Saw sama haknya dalam harta fayik
dengan orang yang pernah memerangi Islam dan memeluknya kemudian”. Bertentangan
dengan pendapatnya dalam hal ini Ali bin Abi Thalib. Tapi pendapat khalifah
lebih unggul diatas pendapat para penentangnya, sehingga ditetapkanlah system pembagian
sesuai kedudukan, Dan diletakkanlah urutan dalam masalah ini yaitu terdiri dari
dua sisi: pertama didasarkan kepada hajat orang terhadap harta yang akan
dinafkahkan, kedua keterdahuluannya didalam memeluk Islam dan memenangkannya.
Dimulailah oleh Umar pertama kali dengan mengedepankan orang-orang yang sangat
membutuhkan seperti Qaari' (pembaca) Al-Quran dan fakir yang amat menghajatkan,
keduanya mengambil bagiannya yang mencukupinya. Baru kemudian dibagikan kepada
golongan yang terdahulu dalam memeluk Islam dan kedekatannya kepada Rasulullah
Saw.
Setelah ditaruhnya dasar-dasar ini, timbullah kemudian
kendala baru yaitu: Bagaimana mencacah semua orang dan umat seluruhnya dapat
terlibat dalam pemanfaatan harta tersebut, sedang hal tersebut sangat besar dan
luas, nah bagaimana mendata dan mencacahnya?
Disini, para ahli arif dan bijak memberi petunjuk kepada
khalifah untuk meletakkan sebuah kantor untuk orang banyak atau kantor pencatat
(sipil) yang mencatat nama-nama orang didalamnya. Perlu disebutkan pada
munasabah ini bahwa syair adalah perekam bagi bangsa Arab artinya bahwa syair
merupakan pencatat bangsa Arab. Para ahli arif tadi telah mendapatkan hal
serupa dari perangkat pencatat tersebut di negeri Kisraa. Maka oleh Umar
didirikanlah sebuah diwan (Kantor pencatat) yang disebut diwanul Athaa', dimana
direkam didalamnya segala nama-nama yang akan memanfaatkan dari harta-harta
tersebut.
Sekarang marilah kita bayangkan bagaimana seorang khalifah
dan para pembantunya mampu membatasi nama-nama orang tersebut dalam daftar
catatan tadi. Sebelumnya haruslah mereka mengklasifikasikan nama-nama tersebut
dalam golongan tertentu dimana mereka termasuk didalamnya agar mereka dapat
dicacah didalamnya tanpa terlewatkan satupun. Dan pada masa itu orang-orang
dinisbatkan kepada golongan atau sukunya, sehingga tidak mungkin semua orang
dicacah kecuali dengan dasar kesukuan tadi. Memang memungkinkan bagi para
pemerang agama Islam untuk dibagi berdasarkan kelompok yang diikutinya, tapi
kelompok itu sendiri didasarkan pembagian kesukuan. Jadi tidak ada langkah lain
disini untuk mencacahnya.
Dan dengan demikian berjalanlah pencatatan nama-nama kaum
muslimin yang berhak (mustahik), semuanya sesuai dalam kabilah dan sukunya. Dan
dapat dilihatnya bahwa pembatasan disini harus mendapat kepastian dari semua
orang didalam kabilahnya, yaitu dalil kepastian yang sebenarnya tidak
disengaja.
Kondisi masyarakat menetapkan keberadaan seseorang dalam
kabilahnya, kemudian datanglah Islam menghapuskan kefanatikan tersebut dan
mengikat persaudaraan antara semua orang. Sampai datangnya sistem keuangan ini
mengembalikan dan memperkokoh tatanan kesukuan, dimana tidak ada jalan lain
selain dari itu untuk melakukan pencacahan, dan terjadilah apa yang telah
terjadi seperti yang akan kita saksikan.
Menghadang didepan Umar problem lain yaitu bagaimana
mencacah orang-orang muslimin selain bangsa Arab. Umar mengikuti cara yang
dikenal pada masa jahiliyah yaitu setiap kabilah-kabilah biasanya ada
orang-orang yang berpihak dan loyal kepadanya dan mereka adalah bagian dari
kabilah tersebut. Maka jika seseorang masuk Islam dan bergabung kepada salah
satu suku Arab, maka bagi dirinya adalah bagi sukunya dan atas dirinya juga
atas sukunya, serta namanya tercantum bersama nama-nama anggota kabilah
tersebut. Dan begitulah apa yang dilakukan Umar, namun ia tidak menjadikan
aturan ini sebagai kewajiban, bahkan katanya: “Jika ada kaum asing ingin
menjadi suku tersendiri maka lakukanlah, maka bagiannya sebagaimana dirinya
menjadi pendukung salah satu kabilah Arab". Namun hendaknya dibayangkan
disini posisi orang yang masuk Islam tersebut, bukankah merupakan kemaslahatannya
atau kebanggaannya apabila ia bernasab kepada satu kabilah Arab dan hak
kewajibannya menjadi hak kewajiban kabilahnya.
Tidaklah syak bahwa orang-orang asing non-Arab akan mengutamakan
saat pembagian suatu harta pemberian untuk bernisbat kepada kabilah-kabilah
Arab daripada membentuk kumpulan khusus diantara mereka. Marilah kita bayangkan
bahwa dahulu kala bangsa-bangsa yang berkuasa menganggap bangsa-bangsa yang
diperintah sebagai bangsa yang lebih rendah dari mereka sehingga tidaklah bisa
dinisbatkan ke bangsa mereka. Sedang Umar bin Al-Khathab telah membuka bagi
orang asing (a’zam) peluang ini sehingga mereka mendapatkannya sebagai suatu
keistimewaan yang besar sebagaimana mereka pernah menyandangnya.
Begitulah dapat dipahami bagaimana orang-orang asing telah
menisbatkan diri kepada suatu kabilah Arab tanpa merasa riskan bahkan sebagai
suatu keistimewaan.Hasil dari ini semua bahwa sistem keuangan telah menjadi
sistem Arab, dimana pembagiannya telah didasarkan atas asas kabila-kabilah
Arab, sehingga akan berdampak dalam sejarah Islam pada umumnya dan sejarah
dinasti Umawiyyah pada khususnya.
Selanjutnya pembicaraan beralih kepada tanah kharraaj. Tanah
yang telah menjadi milik Allah atau milik umat ini sengaja dibiarkan ditangan
para petani pemilik aslinya, agar mereka mengelolanya dan dapat bekerja
melaluinya sehingga dapat membayar kharajnya. Namun disamping pajak kharraj ada
pajak lain yang pertama adalah jizyah. Disini tidak akan memperpanjang
pembicaraan karena pada awalnya jizyah telah bercampur aduk dengan unsur
kharraj, sehingga kadang jizyah telah dipakai untuk pembayaran kharraj dan
kharraj digunakan dalam pengertian jizyah, sampai kedua istilah ini menemukan
jalannya secara stabil untuk selamanya.
Jadi jizyah itu apa-apa yang diambil dari penduduk yang
belum memeluk Islam dan menggunakan tanah kharraj untuk membayar apa-apa yang
dihasilkan dari tanah tersebut. Dan Jizyah adalah pungutan untuk melindungi non-muslim
dan menjamin keamanan mereka, namun mereka tidak dilibatkan dalam peperangan,
dan jizyah diserahkan ke baitul-maal dan dibagikan kepada orang-orang yang
terdaftar dalam kantor pencatat (diwanul-atha') . Diserahkan ke baitul-maal
juga seperlima dari rikaz yaitu apa-apa yang dihasilkan dari dalam perut bumi
berupa logam dan harta temuan berharga. Begitu pula kaum muslimin memberikan
sepersepuluh dari hasil tanah pertaniannya, apabila mereka memiliki tanah dan
mewarisinya. Dan diambil dari para pedagang sepersepuluh hasil keuntungannya
dan itu semua dihimpun ke dalam baitul-maal.
Sedangkan sedakah dan zakat dimasukkan ke baitul-maal namun
tidak dibagikan kepada golongan atha' tapi dibagikan untuk para kaum fakir
miskin karena hak mereka sangatlah jelas, yaitu sesuatu yang diambil setiap
tahunnya dari harta kalangan berada (kaya). Yang mana harta umat itu setiap
empatpuluh tahun masuk ketangan kaum fakir untuk dibelanjakan dan dimanfaatkan
darinya.
Jadi, telah berkumpul di dalam baitul-maal setumpuk harta
amat besar yang diambil dari berbagai pihak yang telah disebutkan satu persatu
tadi. Dan harta itu selalu dibagikan sehingga tidak tersisa pada baitul-maal
kecuali sedikit saja yang wajib untuk kebutuhan masa mendatang. Dan Umar
memerintahkan para ‘amilinnya untuk membagikan harta-harta tersebut pada
waktunya agar tidak menyengsarakan orang-orang akibat keterlambatan pembagian
tersebut.
Umar telah melakukan suatu pekerjaan luar biasa dalam mendata
dan mencacah dalam kantor pencatat sipil (diwanul ‘atha'), juga dalam sejumlah
tanah-tanah kharraj. Telah bergabung dalam melakukan hal ini Utsman bin Hanif
dan Hudzaifah bin Yaman pada sejumlah tanah hitam di negeri Irak, dimana
diketahui berapa luasnya dan kemudian dicacah. Dan ini suatu pekerjaan yang
amat membanggakan tercatat bagi kedua sahabat ini.
Singkat kata, bahwa sistem keuangan pada masa Khulafaur
Rasyidin adalah sistem yang terdiri dari beberapa unsur-unsur sistem sosialis,
karena rakyat secara serentak ikut serta dalam memberikan pemasukan kepada
negara untuk kembli dibagikan kepada mereka. Dan juga suatu sistem yang
beberapa sisinya mengandung unsur kesukuan, karena pembagiannya berdasarkan
asas kabilah.
Apa yang dapat disimpulkan dari pemaparan yang lalu tentang
pembentukan negara pada masa Khulafa Rasyidin?
Dari pendahuluan yang telah kita kedepankan dapatlah
ditemukan penafsirannya sekarang, dimana negara (seperti telah disebutkan)
adalah negara musyawarah (syura) mengambil dari rakyat segala keputusan hukum
dan sumber kehidupannya, yaitu negara yang segala sesuatunya berpusat pada
hukum agama. Yaitu negara yang condong pada sistem sosialis dalam menata sistem
keuangannya, dan negara bangsa Arab dalam sistem pendistribusian harta dan militernya.
Disamping itu semua sebuah negara yang diperintah oleh perorangan yang
ditangannya segala kekuasaan, walaupun sebenarnya bersandarkan pada syura atau
pembai'atan, namun sang penguasa bisa mengambil apa saja dari
keputusan-keputusan, dan bagi umat untuk memperhitungkannya jika ada kesalahan
di dalamnya.
Singkat kata bahwa sistem ini adalah sistem keagamaan yang
bersandar pada sistem syuura. Kekuasaan diserahkan kepada seseorang yang
dipilih oleh Ahlu hilli wal-aqdi (para cerdik dan bijak) dari kalangan bangsa
Arab untuk kemudian diakui oleh mayoritas rakyat, dan ia yang terpilih
bertanggung jawab kepada mereka. Sedang tanah wilayah negara sepenuhnya milih
seluruh umat. Juga semua harta harus masuk ke tangan para fakir setiap empat
puluh tahun sekali untuk dibelanjakan demi hajat diri mereka. Dan tujuan
kekuasaan untuk yang pertama dan terakhir adalah kemaslahtan umat di dunia dan
akherat.
Ini adalah pendahuluan singkat yang bisa mempermudah
memasuki peristiwa-peristiwa sejarah, juga memudahkan pemahaman peristiwa
fitnah yang terjadi pada masa Utsman. Maka dari sini bahwa kabilah-kabilah Kahlani dan Qahthaani terdiri dari bangsa badawi (berpindah-pindah) dan bangsa yang menetap. Disini nampaknya perlu diperhatikan saat pembahasan pembagian ini antara badawi (pindah-pindah) dan hadhr (tetap).