Di dalam blog ini, kami berusaha untuk menyajikan Sejarah tentang dinasti Islam; Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Umawiyah adalah sebuuah Dinasti yang telah ditakdirkan menjadi pelanjut peradaban Islam setelah masa keemasan era Khulafaur-rasyidin. Sebagai sebuah catatan Sejarah, tentu saja blog ini berusaha memaparkan dan menggambarkan secara adil dan proporsional, serta berimbang tentu saja, tentang seluk-beluk peristiwa dan tindak-tanduk para tokoh dan pelaku yang terlibat dalam perjalanan Dinasti Umawiyah. Diambil dari Buku "Dinasti Umawiyah" dan "Dinasti Abbasiyah" dengan penulis Dr Yusuf Al-'Isy (w 1967 M)yang terkenal sebagai pakar sejarah dari Syam, berusaha meluruskan stigma-stigma negatif dan cenderung dilemparkan pada Dinasti ini, tanpa mengesampingkan berbagai "peristiwa hitam" yang memang terjadi dalam kurun tegaknya Daulah Umawiyah ini.
Setelah Dinasti Umawiyah runtuh pada tahun 1300 hijriyah, mulailah Abu Al-Abbas yang bergelar As-Saffah mendirikan negara Islam di Khurasan yang merupakan batu pertama berdirinya Khilafah Islamiyah terbesar yaitu Dinasti Abbasiyah. Karakteristik pemerintahan yang diwarnai corak keislaman tersebut menorehkan prestasi luar biasa yang dicatat oleh tinta emas sepanjang sejarah manusia.
Semoga dengan blog ini diharapkan dapat memberikan gambaran utuh tentang kisah awal berdirinya Dinasti Umawiyah hingga Dinasti Abbasiyah, Biografi para Khalifah yang pernah memimpinnya, catatan peristiwa politik, ekonomi dan sosial yang terjadi di dalamnya, yang kemudian diakhiri dengan kesimpulan tentang "Sosok" masing-masing Dinasti.
Home » Archives for January 2014
Friday, 10 January 2014
Thursday, 9 January 2014
Pembentukan Masyarakat: Kabilah-kabilah Arab
Sebuah keniscayaan bagi kita untuk mempelajari sosiologi
masyarakat Arab sebelum masuk ke dalam peristiwa-peristiwa bersejarah. Dan
masyarakat Arab inilah yang memainkan peranan penting disejarah gemerlapan
Islam, dan pengaruhnya amatlah besar. Dan masyarakat Arab pada saat itu
terwakili oleh suku (kabilah), karena masyarakat ini terdiri dari beberapa
kabilah. Dan memang tatanan bangsa Arab pada dasarnya dibangun diatas kabilah,
bahkan dipuncak masa Islam telah diletakkan sebagian kaedah perekonomian atas
dasar qabilah tersebut. Inilah, suku-suku tersebut telah berperan dalam
menyulut fitnah yang terjadi, dan pada akhirnya meruntuhkan kedaulatan negara
Arab yaitu bani Umayyah.
Untuk itu perlu dipelajari disini kondisi suku-suku
(kabilah) sebelum masa Islam, karena menjadi kunci pembuka studi kita pada
periode ini (Umayyah), dan akan kita pelajari hal ini secara khusus pada abad
keenam (masehi) atau pada masa jahiliyah.
Nampak pada masa itu, bangsa Arab telah menjadikan asas
masyarakatnya bercabang-cabang menjadi suku-suku (kabilah-kabilah), bahkan hal
itu dijadikan oleh mereka asas nasab yang berasal dari hubungan darah daging,
sehingga masyarakat Arab bisa dikatakan didasarkan oleh hubungan darah. Lebih
dari itu, bangsa Arab sebelumnya telah berpegang pada mazhab yang lebih jauh
yaitu meninggikan nasab mereka kepada abad-abad terdahulu, dan memata-rantaikan
nasab mereka kepada nenek Ismail dan Ibrahim.
Dan tidaklah disangkal bahwa bangsa Arab itu tidak mampu
memberikan silsilah nasab lama mereka secara tepat dan akurat, sebab nasab
suku-suku yang mereka sebarluaskan bisa Saja telah terjadi kerancuan dan
tumpang tindih, sehingga didapati beberap, suku berinduk kepada kabilah lain
sebagai pelindungnya dan berloyal kepadanya, maka kemudian hilanglah jati diri
nasabnya, serta melebur kepada kabilah tersebut, sedang hakekatnya tidak ada
kedekatan darah antara keduanya.
Sangat penting sekali, disaat mempelajari suku-suku tadi
untuk memperhatikan secara jeli sosiologi suku-suku (kabilah) tadi, apakah
tergolong masyarakat maju atau terbelakang (badawi), untuk itu nampaknya perlu
membagi kabilah dalam tiga bagian yaitu:
Ada beberapa suku-suku yang tergolong dalam deretan
peradaban yang terkemuka pada zamannya, sehingga sampai pada taraf mendirikan
kerajaan setelah sebelumnya berhasil membangun perkotaan.
Cabang lain dari suku-suku itu ada yang menempati daerah
terdepan (hadhar), artinya suku itu berada di perkotaan, meskipun bukan suatu
keharusan kota yang dimaksud semaju seperti kota yang lalu, tapi yang jelas
warganya tidak terlihat terbelakang (badawi) dengan hidup diperkemahan.
Sedang yang suku ketiga, yaitu yang warganya masih badawi
dan mereka merupakan suku yang sering berpindah-pindah, tinggal diperkemahan
dan tidak mapan selamanya.
Jika kita telah mengetahui perbedaan ini, maka kita mampu
untuk memperlihatkan suku-suku Arab ini dengan jelas, yaitu dengan melihat dari
sisi geografi terlebih dahulu. Bangsa Arab sejak zaman dahulu telah terbagi
kepada dua bagian yaitu: bagian utara yang terbentang dari daerah Hijaz sampai
Syam, dan bagian selatan yaitu didaerah Yaman dan Hadramaut.
Dan pembagian geografis ini disertai dengan pembagian nasab,
dimana Arab bagian Utara adalah bangsa Adnan yang bermata nasab kepada Ismail
bin Ibrahim, adapun yang diselatan mencap dirinya bangsa Yaman, karena mereka
nasab yang tersisa dari bangsa Aribah.
Terlebih dahulu akan dibahas seputar Arab utara, dimana
terpecah menjadi dua suku yaitu Mudhir dan Rabeah. Mudhir menempati daerah
Utara jaziirah Arab bagian Barat, sedang Rabeah bermukim di Utara jazirah Arab
bagian Timur, hanya saja suku ini terpaksa melebarkan wilayahnya sampai
kebagian Timur, dan meninggi sampai ke Timur, seperti yang akan kita lihat
nanti.
Menengok kepada kabilah Mudhiriyah, sebagian mereka
menempati pemukiman yang cukup maju dan berdiam diperkotaan, bisa disebut pada
pembagian ini yaitu suku bani Kinanah, juga Bani Quraisy di Mekkah, dan suku
Hudzail dipegunungan sekitar kota Mekkah, termasuk diantaranya bangsa Mudhir
Tsaqiif yang tinggal di kota Thaif.
Suku Kinanah dan Tsaqiif bisa digolongkan suku yang
berkemajuan artinya bukan suku badawi (primitif) Yaitu suku bercirikan
pedagang, apalagi suku Quraisy yang tinggal di Mekkah sangat terkenal dengan
perdagangannya yang amat besar. Sebagian warganya amatlah kaya seperti Abu
Sufyan, Walid bin Mughirah, Utsman bin Affan, dan yang lainnya.
Dan sebagian bangsa Mudhir ada yang tergolong suku badawi.
Suku bani Tamiim adalah suku pertama dalam kabilah ini, yaitu suku yang
memiliki wibawa dan pengaruh kuat, dan tinggal ditengah jazerah Arab namun
menempati perkampungan Badiyah yang kemakmurannya sangatlah kurang serta
mengandalkan perpindahan dan peperangan.
Dan suku ini terus berkembang melebar sehingga menggeser
wilayah dua suku dari ras Rabi'ah yaitu Bakr dan Taghlib, bahkan menduduki
tanah mereka, sehingga mereka terpaksa mengungsi ke daerah Iraq dan menetap
disana. Suku bani Tamim cukup disegani dari segi militer, sampai suatu saat namanya
mengungguli bangsa Mudhir sendiri yang biasanya dikenal clengan julukan
Banuqais (maksudnya bangsa Mudhir)
Suku Hawazin yang tinggal di Timur kota Thaif dan Sulaim
yang bermukim di Timur kota Madinah, serta Ghatafaan yang menempati sebelah
Utara Khaibar. Dan Ghatafan terdiri dari suku Abas dan Dzubiyaan, keduanya
dikenal sebagai suku yang saling berperang sepanjang zaman.
Dari penyebutan suku-suku tadi, bisa kita bayangkan posisi
letak bangsa Mudhir di jazerah Arab ini, yaitu telah melebar sampai utara
jazerah Arab dan bagian Timurnya, serta telah mendesak keluar suku Rabi'ah ke
bagian barat jazerah bahkan hampir mencapai Laut Merah.
Sedang rumpun Rabi'ah, keseluruhannya menempati di daerah
Badiyah, terkecuali suku Banu Hanifah dari rumpun Rabi'ah ini menempati daerah
bagian Timur jazerah Arab. Dan diantara cabang besar dari suku ini adalah
rumpun Wail, dan darinya terdapat suku Bakr dan Taghlib. Dan seperti yang lalu,
Bani Tamim telah mengusir kedua suku tersebut hingga sebagian mereka berhijrah
ke daerah Iraq, yaitu seluruh suku Taghlib dan sebagian besar dari suku Bakr.
Sedangkan sisa dari suku Bakr lainnya menempati daerah barat
laut Barat dan melebar dipelbagai daerah dari Ahsaa sampai ke Iraq dan hidup
sangat sederhana (badawiyah). Dan pertikaian terus berlangsung antara Bakr dan
Taghlib dalam urusan peternakan atau yang lainnya, hal ini berpulang kepada
negara Persia yang sering menciptakan hazazaat antar keduanya, sehingga mereka
mampu menakluki keduanya.
Sedang dari rumpun Rabi'ah ada suku Banu Hanifah menempati
daerah Yamamah yang terdapat satu kota besar dan dua kota. kecil. Mereka
tinggal disekeliling dua kota tersebut dan sebagian bermukim di tengahnya.
Namun kebanyakan dari Rumpun Rabiah ini bergaya badawi dan hidup tidak teap
serta berpindah-pindah.Dan Banu Hanifah mendirikan negara Hamdzah di Yamamah
yaitu sebuah negara kecil. Tersisa dari rumpun Rabi'ah beberapa suku besar
diantaranya Bani Abdul Qais yang bermukim di Bahrain dan sepanjang tepiannya,
namun suku ini terus menerus hidup dalam keadaan labil dan terbelakang. Juga
ada anak suku Bani Asdu yang memanjang dari arah rumpun Rabiah menuju bagian
Utara dari Jazerah Arabia. Tapi bani Thayi datang ke tempat mereka dan sedikit
demi sedikit mengusir keluar mereka dengan perang dan membinasakan mereka,
sampai menguasai kebanyakan dari tanah mereka. Dan bani Asdu hidup dengan cara
tertinggal meskipun dari sisi teknik berperang suku ini ini tidak sepiawai
suku-suku badui lainnya.
Berikut, secara singkat penjelasan tentang kabilah-kabilah
Adnaan dan pembagian wilayah mereka di seluruh jazerah Arab. Kabilah ini
terbagi dua macam, pertama bangsa yang berbudaya biasa yaitu yang tidak
mencapai tingkat bernegara atau berperadaban, Sedang kedua bangsa barbar dan
badui yang mereka senang hidup tidak tetap dan berpindah-pindah, dan mereka
mayoritas dari kabilah ini.
Adapun Arab disebelah selatan, pada dasarnya mereka bangsa
yang beradab, dan peradaban mereka ditarik ke masa peradaban pertama mereka
adalah peradaban Mu'ayyiniyyah yang ada pada alaf kedua sebelum tahun
miladiyah. Kedua, peradaban Himyariyyah yang muncul pada penghujung menjelang
tahun miladiyah dan peradaban sebelumnya (Mu'ayyiniyah) telah runtuh. Sehingga
yang tersisa hanya dua peradaban yaitu Sabaiyyah dan Himyariyyah yang keduanya
sama-sama menjadi peradaban yang maju dan menjadi dua cabang besar dari bangsa
Arab. Selanjutnya Sabaiyyah dinisbahkan kepada bangsa Kahlaan dan Hamiiriyyah
kepada bangsa Qahthaan. Adapun sebuah musibah besar telah menimpa bangsa Kahlan
yaitu banjir besar yang telah merusak bendungan Ma'rab dan mengakibatkan
hilangnya banyak kota. Dan orang-orang Kahlan tidak mampu bertahan lagi hidup
di Yaman sehingga mereka mengungsi keluar darinya. Para ahli sejarah tidak
mengetahui secara pasti kapan runtuhnya bendungan Ma'rab tersebut, tapi
penukilan terdekat menyatakan peristiwa itu terjadi pada permulaan tahun
masehi. Namun demikian bahwa rusaknya bendungan Ma'rab ini bukan satu-satunya
sebab bereksodusnya bangsa Kahlan dari Yaman, karena faktor perniagaan mereka
terancam mati akibat pengaruh bangsa Byzantium dan Yunani yang mampu mencapai sebagian
daerah yang biasa dimanfaatkan bangsa Kahlan sehingga semakin susutlah profesi
dan modal harta mereka, sampai datang badai banjir kemudian mereka berhijrah.
Untuk itu akan dikenang beberapa suku Kahlan dan kisah
pengungsiannya:
Diantara suku-suku Kahlan adalah kabilah besar Azdu dan
Ghassasinah yang bermukim di selatan Syam dan mereka mendirikan kerajaan yaitu
kerajaan Bani Jafnah. Juga ada suku Aus dan Khazraj, keduanya berhijrah ke
utara Mekkah dan berdiam di Madinah serta menjadi bangsa yang beradab. Tapi
keduanya terus menerus berselisih yang menghalangi keduanya membentuk tatanan
baru untuk membentuk sebuah peradaban seperti peradaban Ghassaasanah, bahkan
terjadi peristiwa antara keduanya dan suku Mudhirrin karena keduanya memasuki
wilayah tanah Mudhir.
Termasuk bangsa Kahlan adalah suku Lakham yang bergerak
keatas ke arah Utara sampai ke sebelah barat Irak dan mendirikan sebuah
kerajaan besar yaitu kerajaan Hiirah. Dan kerajaan Hiirah berhadapan didepan
kerajaan Ghassaan dan keduanya saling berseteru yang digerakan oleh pihak-pihak
asing. Dimana satu sisi bangsa parsi mendorong kerajaan Hiirah dan disisi lain
bangsa Romawi menggerakkan bangsa Ghassaan.
Kembali kepada suku Azud, dapat dilihat bahwa mereka
menciptakan suatu tatanan sosial di negeri Omman yaitu pemerintahan Julandi
diakhir masa jahiliyah. Akan tetapi tatanan ini tidak tampak cukup berbudaya
sebagaimana mestinya. Cabang dari suku Azud ini pada gilirannya akan berperan
penting dalam sejarah Islam seperti yang akan kita saksikan , walau penilaian
beberapa kabilah terhadapnya tidaklah cukup baik.
Tergolong bangsa Kahlan juga adalah suku Kindah. Mereka
ingin menjadi dinasti yang disegani, sehingga mereka berpindah ke Utara Jazerah
Arab dan mencoba menguasai daerah Najed serta merangkul suku-suku yang masih
terbelakang dan upaya ini hampir tercapai kalau saja Islam tidak muncul
kemudian dan akan mengancam kerajaan mereka. Singkat kata mereka sempat
menguasai kabilah Mudhiriyyah tanpa suku Kinanah dan Tsaqiif.
Dan termasuk bangsa Kahlan adalah suku Thayyi' , yaitu suku
yang bisa dinilai mengusir bani Asad dari tempat asalnya disebelah utara
Jazeerah Arab, dan mereka berdiam menduduki-nya serta hidup dengan gaya badui
dan tidaklah menetap, sehingga yang tersisa sampai hari ini dari kabilah ini
adalah suku Syamar. Sedangkan bangsa Qahthan mayoritas menetap di negeri Yaman,
dan terkikis habis negeri mereka akibat dampak asing yang datang dari Habasyah,
diantaranya banu Harits, Madzhaj, dan Hamdaan. Ada satu suku berhijrah ke
negeri Syaam yaitu suku Bani Kalb dan suku ini akan berperan penting pada masa
berikutnya. Sedang suku yang lain berhijrah ke utara laut merah, yaitu suku
Udzrah, dan mereka diperkirakan bermukim ditengah kaum Mudhirrin.
Maka dari sini bahwa kabilah-kabilah Kahlani dan Qahthaani
terdiri dari bangsa badawi (berpindah-pindah) dan bangsa yang menetap. Disini
nampaknya perlu diperhatikan saat pembahasan pembagian ini antara badawi
(pindah-pindah) dan hadhr (tetap).
Friday, 3 January 2014
Wilayah
Khalifah Umar bin Al-Khatab telah meletakkan sistem
wilayah-wilayah negara Islam pada masa khilafah rasyidin dalam bentuk final.
Sedang Abu Bakar telah meletakan asas-asas pertama sistem ini dengan mengirim
tentara untuk melakukan futuhaat yang dipimpin oleh seorang panglima militer.
Menurutnya panglima itulah yang mengatur daerah-daerah yang dibukanya. Adapun
Umar bin Al-Khatab meletakkan system pembagian wilayah ini sampai menjadi
mapan, dimana pada masanya seorang wali pemerintahan dijuluki dengan Amiir
(orang pertama yang menyandang gelar Amiir ini adalah Mughirah bin syu'bah)
maka selanjutnya sebutan ini berlaku untuk para panglima dan wali pemerintahan.
Dan seorang Amiir baginya adalah pemegang kekuasaan
(sulthan) khalifah di daerahnya, sebab ditangannyalah terdapat tiga kekuasaan,
baik tasyri'iyyah (legislative) yaitu kekuasaan yang dirujukkan kepada sang
khalifah, atau tanfiidziyyah (eksekutif) dalam mengurus wilayahnya, serta
qadhaiyyah (yudikatif) dalam hal itu juga. Namun oleh khalifah Umar ketiga
kekuasaan tadi dilepas satu demi satu dan dipisahkan, serta menyisakan
kekuasaan eksekutif untuk Amiir beserta kewenangan Imamah di masjid.
Beliau juga memisahkan sistem peradilan (Qadha), maka
ditunjuklah beberapa qadhi diberbagai wilayah. Juga memisahkan sistem kharraaj
dengan menunjuk para petugas pengambil kharraaj dan shadaqah.
Seorang Qadhi memutuskan gugatan-gugatan ditengah
masyarakat, membagi hasil fa'i atau mengawasi pendistribusi¬annya, juga
memantau kondisi para anak-anak yatim dan para janda serta harta-harta mereka.
Adapun penanggungjawab kharraaj adalah pengawas atas
pengaturan harta berian dan penghimpunannya dan harta sedekah.
Kendati demikian para wali, qadhi dan para pegawai negara
tadi kembali dan tunduk mereka kepada sang khalifah yang menunjuk dan
memberhentikan mereka. Dan sistem ini terus berjalan sampai akhir masa khilafah
rasyidin.
Khilafah
Dan ini kita mulai dengan menyebutkan tatanan Khilafah. Yang
meletakkan sistem khilafah ini adalah Abu Bakar melalui proses syura dari para
sahabat, bahkan seluruh tatanan yang ada dibuat melalui musyawarah dan
mengambil pendapat para sahabat.
Apakah sistem khilafah itu?
Khalifah yaitu penerus Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
dan makna ini memberikan arahan khilafah, karena penerus Nabi yaitu yang berjalan
pada tapak tilas (sirah)nya dan juga baginya kekuasaan penuh. Tetapi hal ini
berlainan dengan kenabian yang khusus disandang oleh pembawa Risalah, sebab
seorang Rasul senantiasa bertindak demi kemaslahatan umum dan mengarahkannya,
juga melihat segala urusan ad-dien serta mengarahkannya. Sehingga seorang
khalifah setidaknya melakukan dua perkara penting tadi. Demikian juga ia
menghimpun antara imamah dan imarah, baik imamah dalam urusan agama (addien)
dan imarah dalam urusan dunia. Dan seluruhnya mengambil wilayah kemaslahatan
umum yang ditegakkan dengan nama Allah. Dan segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada Allah maka kalau harta itu menjadi harta Allah, dan kalau kepemilikan
menjadi milik Allah, dan jika itu masjid menjadi masjid Allah.
Kendati kekhalifahan itu menjadi representative kekuasaan
Allah diatas bumi, namun sebenarnya tidak ada pendelegasian langsung dari
Allah, bahkan Rasul belum sempat menunjuk seorang khalifah penggantinya.
Sehinga seorang khalifah harus menghimpun kekuasaannya dari segala penjuru,
sehingga nampak dengan nyata bahwa kekuasaan itu tersumber dari ummat, dan
khalifah terlihat sebagai wakil kepentingan bagi rakyat dan umat. Dan Allah
menganugerahkan syariat yang bisa berlaku bagi rakyat dan umat. Sehingga satu
sisi seorang khalifah merupakan perwakilan dari rakyat dan umat tersebut, dan
disisi lain juga sebagai penegak syariat Allah ditengah masyarakat manusia.
Menjadi keharusan rakyat itu sejalan dengan khalifahnya,
karena jika tidak setuju dengannya maka tidak mungkin menjadi khalifahnya. Dan
ekspresi persetujuan itu melalui bai'at, dan bai'at itu merupakan keniscayaan
bagi seorang khalifah, karena kekuasaan yang dimilikinya bersumber melalui
bai'at tersebut. Biasanya bai'at dilakukan oleh ahlu hill wal aqd, atau para
sahabah dan cendikawan serta tokoh umat, dan bisa dilaksana-kan oleh para
pemegang urusan (kekuasaan) umat.
Seandainya rakyat adalah satu-satunya yang menyetujui
seorang khalifah, dan menyerahkan kekuasaan kepadanya, maka rakyat pula yang
menjelaskan kepadanya kesalahannya jika ia berbuat salah. Rakyat jualah yang
ikut berpartisipasi bersama sang khalifah dalam mengelola kekuasaan, kendati
partisipasi tersebut dalam batas yang digariskan oleh khalifah. Biasanya
seorang khalifah memilih beberapa orang dari kalangan umat yang bisa dijadikan
tempat berkonsultasi dan bermusyawarah, sehingga terbentuklah semacam Majlis
Syura (Permusyawaratan) bagi kekhalifahan, dan bukanlah rakyat yang memilih
anggota majlis syura tersebut.
Kemudian seorang khalifah berkonsultasi kepada majelis
tersebut, namun putusan terakhir hanya ada ditangannya, dan dirinya-lah yang
menetapkan secara final apa yang harus ia putuskan. Sehingga bagi rakyat dan
umatlah yang berhak menilai apa yang ia putuskan, dan hal ini yang pernah
terjadi pada sekelompok rakyat yang ingin menyoalkan Utsman bin Affan atas
segala yang telah ia laksanakan.
Jadi disini rakyat ikut terlibat, baik dalam pemberian
kekuasaan kepada khalifah melalui pembai'atannya, dan dalam penguraian
kesalahah khalifah jika ia bersalah, serta berpartisipasi dalam
permusyawaratan. Dan itu semua berlangsung dalam bingkai demokratisasi dalam
sistem khilafah, dan juga dalam bingkai monolitasasi dimana khilafah adalah
penyandang pendapat akhir, sehingga apa yang ia putuskan itulah yang dipatuhi.
Dan sepintas sistem (khilaafah) ini pada dasarnya adalah
sistem keagamaan, dimana seorang khalifah mengambil sumber kekuasaannya dari
Allah, dan ia dinyatakan menjalankan perintah Allah dengan melaksanakan hukum
aturan yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, begitupula dengan ba'iat
dilakukan berdasarkan kitab suci Al-Quran dan As-Sunnah. Setidaknya hal ini
yang menampakkan sisi mayoritas keagamaan dalam sistem ini.
Meski begitu dua sisi demokrasi dan keagamaan bersinergi
satu sama lainnya dalam satu tempat yaitu masjid. Pusat pemerintahan khalifah
dipusatkan di masjid, dimana sang khalifah memutuskan segala urusan negara dan
menyebar luaskan segala keputusannya dari tempat itu, Juga berkomunikasi dengan
para duta dan utusan asing serta menegakkan sholat dan khutbah didalamnya.
Masjid adalah rumah Allah dan kediaman semua orang, baik
bagi rakyat ataupun bagi sang khalifah, artinya disini masjid adalah pusat
keagamaan dan disatu waktu sebagai pusat kerakyatan. Seorang khalifah disaat
memutuskan sebuah rancangan baru, biasanya mengumumkannya kepada khalayak dari
atau diatas mimbar, seakan mimbar menjadi media resmi yang menyiarkan
undang-undang atau peraturan.
Tidaklah disangkal lagi, bahwa semua orang akan mendengar
seorang khalifah dari atas mimbar menyiarkan ketetapan-ketetapan yang
dibuatnya, sehingga sebagian orang bisa menyampaikan pendapatnya tentang
ketetapan tersebut, disini bisa terlihat jelas gambaran demokrasi dalam sebuah
pemerintahan.
Dan jika kembali kepada unsur monolit dalam sistem khilafah,
kita temukan adanya kekuasaan individu, walaupun bukan seperti kekuasaan
individu yang didapati pada bangsa yang lain, yaitu kekuasaan individu yang
bersifat warisan. Disini kekuasaan tidaklah diwariskan dan tidak bersinambung
kepada orang atau golongan tertentu. Dan ini menunjukan sisi lain dari sisi
demokrasi yaitu bersifat terbuka untuk dimiliki rakyat, dan setiap rakyat
berhak menjadi khalifah, jika memang benar ia memiliki keunggulan dan kelebihan
sebagai syarat seorang khalifah.
Hanya saja seorang khalifah mempunyai kekuasaan yang sangat
luas, maka tidak didapati pada sistem khulafau rasyidin pembagian kekuasaan dan
pembatasannya, sebagaimana dimaklumi saat ini adanya tiga macam kekuasaan yaitu
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada pemerintahaan masa itu,
ketiga kekuasaan tadi ada ditangan sang khalifah, namun dia bisa melakukan
pendelegasian kekuasaan kepada yang lain, seperti bisa mewakilkan kekuasaan
yudikatif kepada seorang Qadhi, namun si-hakim (qadhi) harus mengikutinya, dan
seorang khalifah berhak menggantinya dengan orang yang lain kapan saja
diinginkannya. Begitu juga undang-undang (legislative) juga merupakan hak
kekuasaan khalifah, tapi pada batas Al-Quran dan Hadits. Sedang kekuasaan
eksekutif merupakan miliknya yang seluas-luasnya dan tanpa batas, terkecuali
yang telah ditetapkan oleh syara'.
Sedang jabatan menteri yang biasa kita lihat dalam
sistem-sistem lainnya tidak nampak tersebut dengan nama dalam bentuk negara
khilafah ini, namun dalam prakteknya ada, karena biasanya seorang khalifah
dibantu oleh para tenaga ahli dari para sahabat. Sebagai contoh Umar adalah
menteri dimasa Abu Bakar, dan Utsman adalah menteri dimasa Umar. Dan khalifah
memberi kewenangan kepada para sahabat untuk mengangkat beberapa orang yang
dipercaya untuk menjalankan tugas-tugas dan menangani urusan-urusan yang ada.
Juga untuk mengambil kewajiban zakat, shadaqah, pajak, seta menjalankan
kewenangan peradilan, pembangunan, pertahanan (militer) dan semacamnya. Hanya
saja, sebagaimana kita lihat bahwa khalifah adalah kepala atau pimpinan dalam
segala hal, sedang lainnya menjalankan tugas bersama khalifah tapi tidak
memiliki kewenangan yang luas.
Sistem Hukum (Pemerintahan) di Masa Umar bin Al-Khathab
Jika sejarah pada masa Islam akan dipelajari secara
teliti dan dalam, wajib untuk mengetahui sistem negara yang dianut pada zaman
tersebut. Sistemlah yang memberikan kepada suatu zaman bobot nilainya, karena
dialah yang menghadapinya dan terjadi didalamnya aliran-aliran yang
bermacam-macam. Bahkan sistem ini jikalau kita mengambilnya pada akhir masa
Umar bin Al-Khatab, dapatlah kita memahami sebuah negara Islam secara paripurna
khususnya pada perkara-perkara yang besar.
Maka sistem yang ada pada masa Umar adalah sistem yang
terkonsentrasi pada urusan khilafah, yaitu memberi tafsiran kepada kita tentang
peristiwa-peristiwa pada masa Islam, bahkan pada masa dinasti Umawiyah.
Hanya saja sistem ini tidak diletakkan sekaligus
melainkan secara berangsur, satu bagian datang pada suatu waktu kemudian
diikuti bagian lain setelahnya. Dan peristiwa-peristiwa itulah yang memberi
gagasan sistem tersebut, karena ialah yang merekamnya. Kejadian-kejadian itu
berjalan dengan "cepat meskipun saat itu belum ada dipuncak kepala negara
Islam dua orang laki-laki yang mengecilkan lafal keagungan dihadapan urusan
keduanya, serta membahayakan arus kejadian yang ditaruh sistem itu, maka
didapatlah didalamnya penyakit dimana menimbulkan keributan dan
ketidakstabilan. Namun Abu bakar dan Umar mampu bersikap sebaik-baiknya dengan
kecerdasan yang langka ditemukan dalam sejarah, dan dengan baik jejak keduanya
diikuti Utsman pada enam tahun pertama dari masa kekhilafahannya, sampai zaman
terjadinya tragedi fitnah. Dan meskipun kejadian itu berlari dengan cepat namun
pikiran tiga khalifah tersebut juga berlalu secepat kejadian itu, bahkan
terkadang peristiwa yang terjadi mendahului benak pikiran mereka, namun mereka
selamanya jernih pikiran, teroganisir, jauh jangkauan, dan dalam pandangannya.
Jika terhitung bahwa Umar bin Al-Khatab sebagai khalifah
yang paling lama memerintah maka dialah yang banyak meletakkan bagian terbesar
dari sistem tersebut, juga memeliharanya dari arah yang salah. Seandainya masa
khilafahnya bertahan lebih lama dari yang sebenarnya maka sistem pemerintahan
ini akan lebih mendalam, lebih bermaslahat, dan lebih luas.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)