Tuesday 1 July 2014

Sistem Keuangan Pada Masa Khulafa Rasyidin

Disebutkan bahwa sistem pemerintahan di masa Khulafa Rasyidin bisa dikatakan menganut sistem sosialis (isytirakiyah), seperti akan nampak jelas pada uraian pembahasan sistem keuangan negara tersebut.
Sumber kekayaan utama sistem ini dari sisi keuangan adalah sumber pemasukannya, dimana negara memusatkan perhatiannya dan menjadikan sebuah masyarakat yang cenderung kepada sistem sosialis, yang memiliki ciri utama sebagian besar tanah adalah milik negara. Tapi sebagian tanah tetap milik perorangan apabila pemilikannya sebelum terjadinya futuhat.

Sistem keuangan ini juga bercirikan bahwa semua orang semestinya hidup dalam tingkat kehidupan yang standar dan wajar, tidak hidup mewah dan tidak turun dibawah garis kemiskinan. Negara hendaknya memperhatikan nasib kaum fakir miskin dan memberi haknya. Inilah sistem Islam yang diletakkan atas dasar Al-Quran dan sunnah. Setidaknya sistem ini mendapat uraian terinci pada masa khalifah Umar bin Al-Khathab yang memanfaatkan pengelolaan wilayah-wilayah yang dibuka (futuhaat) dan sistem didalamnya. Sampai sistem ini mapan dan matang dengan perkembangan pemikiran Islam dan kebutuhan daerah-daerah yang dibebaskan tersebut.

Negara-negara yang tadinya dibawah kekuasaan Romawi dan Parsi masa dahulu wajib membayar pajak dalam jumlah yang Besar, walau seluruh rakyatnya tidak membayar pajak. Ada lapisan tertentu di masyarakat yang tidak menunaikan apapun ke lumbung negara, tapi ada lapisan lain yang memberikan pajak hartanya kepada orang lain yang menyandarkan hidup darinya, mereka adalah pemuka agama. Dan pajak-pajak tersebut banyak jenisnya pada tanah-tanah tersebut yang amat dirasakan oleh rakyat, dimana mereka wajib menyerahkan kepada penguasa apa-apa yang menjadi penghidupannya berupa bulir-bulir bijian yang banyak. Sedang mereka bekerja dan menyerahkan hasil pekerjaannya seluruhnya seakan-akan hal itu sesuap makanan bagi mereka.

Kemudian datanglah masa pembebasan (futuhat), maka kaum muslimin menguasai mayoritas tanah-tanah tersebut yang tadinya dibawah kekuasaan Parsi dan Romawi. Tadinya dalam ketentuan hukum pembebasan (fath) dan peperangan bahwa tanah-tanah dan apa-apa yang ada di dalamnya adalah milik para tentara pembebas (al- faatihun), namun beberapa shahabat yang ikut serta dalam pembebasan tersebut, terutama dari para pembesar-pembesarnya seperti Saad bin Abi Waqash, Abu ‘Ubaidahidah, dan Amru bin Ash memohon tanah-tanah tersebut dibagi-bagi diantara mereka sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya di tanah Khaibar. Maka mereka minta izin dan restu dari para penguasa wilayah dibawah Khalifah Umar bin Al-Khattab tentang perkara ini. Maka Umar mempertimbangkan pendapatnya dalam persoalan ini sebagai berikut: “jika tanah-tanah itu dibagi sesama tentara pembebas (fatihin), maka apa Yang tersisa untuk yang datang sesudahnya? Dan apa yang tersisa dari harta benda untuk membiayai futuhat selanjutnya? Dan apa nasib para pembebas (fatihin) sedang mereka harus memperhatikan lanah-tanah mereka, menanaminya dan mengelolanya, sehingga mereka akan terbuai lupa akan futuhat mendatang?”

Realitanya, bahwa masalah ini amatlah sangat penting, dan Umar bin Al-Khathab sebelumnya telah mempertimbangkannya dari sisi kemaslahatan agama dan kemaslahatan umat, walau persoalan sebenarnya bahwa para pembebas (fatihin) itu berhak untuk membagi tanah-tanah tersebut, tapi apakah hal itu sejalan dengan Fuh Islam?

Sehingga masalah ini menyita waktu cukup besar bagi Umar untuk memikirkannya secara luas. Dan sungguh baginya untuk memenangkan ruh Islam tanpa melanggar teks Al-Quran dan Sunnah. Maka segera ia kembali kepada Al-Quran dan didapatkannya dua ayat, salah satunya menetapkan pembagian tanah pembebasan yang biasanya menyambung dengan suatu daerah dan tanah khusus. Sedang ayat lain mengisyaratkan kepada satu macam yang terbilang dan mencakup umat seluruhnya. Dan telah disebutkan pada satu konteks tertentu bahwa tanah tersebut tidak menyambung dengan perkampungan tertentu melainkan dengan seluruh perkampungan, jadi yang terjadi disini adalah disamaratakan tanpa ada pembatasan. Allah Swt berfirman:
“Apa saja harta rampasan (fa'i) yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. Juga bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampong halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman: Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.

Ayat ini berkaitan dengan fai' dari penduduk desa secara umum, bukan dari desa tertentu seperti termaktub di dalam Al-Quran untuk kondisi tertentu. Dan ayat mencakup semua lapisan kaum baik fakir, miskin, orang dalam perjalanan (musafir), muhajirin dan anshar kemudian mereka yang datang setelahnya yaitu mencakup umat Islam. Pada ayat ini Umar bin Al-Khathab merenung dan berkomentar: Hendaknya seluruh tanah-tanah tersebut tetap diperuntukan umat dan dari mereka semua tanah¬tanah tersebut ditahan.

Namun ada beberapa sahabat yang tidak sependapat, mereka tetap berpegang pada ayat yang mengizinkan pembagian tanah seperti peristiwa Khaibar, di antaranya Abdurrahman bin 'Auf, Zubair, dan Bilal bin Rabaah. Adapun Bilal yang paling keras didalam hal ini, dimana menentang penahanan tanah-tanah pembebasan dari tangan kaum muslimin.

Dan Umar belum mampu melobi para sahabat walaupun berada disamping pendapatnya beberapa sahabat lainnya seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman, Mu'adz, Abdullah bin Umar dan Thalhah.
Sampai akhirnya Umar terpaksa mengambil ketetapan hukum kepada kaum Anshar, maka mereka memilih lima orang dari suku Aus dan lima lagi dari suku Khazraj dan sang khalifah memaparkan kepada mereka letak perbedaan pendapat serta disebutkan juga bahaya yang mungkin terjadi dari pembagian tanah-tanah hasil pembebasan kepada tentara pembebas (fatihin), sehingga mereka menimbang-nimbangnya kemudian berkata: "Pendapat terbaik adalah apa yang kau lihat wahai Amirul Mukminin" Dari sinilah terjadi kestabilan opini dari apa yang telah ditemukan Umar bin Al-Khathab dalam kejeniusan akalnya dan pemahamannya terhadap ruh syariah.

Dan Umar menulis surat kepada wilayah-wilayah (amshor) apa yang telah tetap dari pendapat tentang masalah ini, dan beliau katakan: “Para tentara pembebas (fatihun) akan mengambil bagiannya dari harta rampasan perang (ghanaim), adapun tanah yang dibebaskan tetap milik kaum muslimin seluruhnya, yang mana diambil hasil dan produknya dan dibagi kepada umat.”

Dan kesulitan kedua yang dihadapi Umar datang dari pembagian devisa (pemasukan) negara. Apa saja dasar yang wajib dikonsentrasikan dalam pembagian devisa tersebut.? Apakah harta dibagikan kepada semua orang dengan merata? Dan pendapat Umar condong kepada pembagian berdasarkan kedudukan dan kelas masing-masing dari mereka. Kata Umar: “Sungguh saya tidak berpendapat bahwa orang yang berhijrah bersama Rasulullah Saw sama haknya dalam harta fayik dengan orang yang pernah memerangi Islam dan memeluknya kemudian”. Bertentangan dengan pendapatnya dalam hal ini Ali bin Abi Thalib. Tapi pendapat khalifah lebih unggul diatas pendapat para penentangnya, sehingga ditetapkanlah system pembagian sesuai kedudukan, Dan diletakkanlah urutan dalam masalah ini yaitu terdiri dari dua sisi: pertama didasarkan kepada hajat orang terhadap harta yang akan dinafkahkan, kedua keterdahuluannya didalam memeluk Islam dan memenangkannya. Dimulailah oleh Umar pertama kali dengan mengedepankan orang-orang yang sangat membutuhkan seperti Qaari' (pembaca) Al-Quran dan fakir yang amat menghajatkan, keduanya mengambil bagiannya yang mencukupinya. Baru kemudian dibagikan kepada golongan yang terdahulu dalam memeluk Islam dan kedekatannya kepada Rasulullah Saw.

Setelah ditaruhnya dasar-dasar ini, timbullah kemudian kendala baru yaitu: Bagaimana mencacah semua orang dan umat seluruhnya dapat terlibat dalam pemanfaatan harta tersebut, sedang hal tersebut sangat besar dan luas, nah bagaimana mendata dan mencacahnya?

Disini, para ahli arif dan bijak memberi petunjuk kepada khalifah untuk meletakkan sebuah kantor untuk orang banyak atau kantor pencatat (sipil) yang mencatat nama-nama orang didalamnya. Perlu disebutkan pada munasabah ini bahwa syair adalah perekam bagi bangsa Arab artinya bahwa syair merupakan pencatat bangsa Arab. Para ahli arif tadi telah mendapatkan hal serupa dari perangkat pencatat tersebut di negeri Kisraa. Maka oleh Umar didirikanlah sebuah diwan (Kantor pencatat) yang disebut diwanul Athaa', dimana direkam didalamnya segala nama-nama yang akan memanfaatkan dari harta-harta tersebut.

Sekarang marilah kita bayangkan bagaimana seorang khalifah dan para pembantunya mampu membatasi nama-nama orang tersebut dalam daftar catatan tadi. Sebelumnya haruslah mereka mengklasifikasikan nama-nama tersebut dalam golongan tertentu dimana mereka termasuk didalamnya agar mereka dapat dicacah didalamnya tanpa terlewatkan satupun. Dan pada masa itu orang-orang dinisbatkan kepada golongan atau sukunya, sehingga tidak mungkin semua orang dicacah kecuali dengan dasar kesukuan tadi. Memang memungkinkan bagi para pemerang agama Islam untuk dibagi berdasarkan kelompok yang diikutinya, tapi kelompok itu sendiri didasarkan pembagian kesukuan. Jadi tidak ada langkah lain disini untuk mencacahnya.
Dan dengan demikian berjalanlah pencatatan nama-nama kaum muslimin yang berhak (mustahik), semuanya sesuai dalam kabilah dan sukunya. Dan dapat dilihatnya bahwa pembatasan disini harus mendapat kepastian dari semua orang didalam kabilahnya, yaitu dalil kepastian yang sebenarnya tidak disengaja.

Kondisi masyarakat menetapkan keberadaan seseorang dalam kabilahnya, kemudian datanglah Islam menghapuskan kefanatikan tersebut dan mengikat persaudaraan antara semua orang. Sampai datangnya sistem keuangan ini mengembalikan dan memperkokoh tatanan kesukuan, dimana tidak ada jalan lain selain dari itu untuk melakukan pencacahan, dan terjadilah apa yang telah terjadi seperti yang akan kita saksikan.
Menghadang didepan Umar problem lain yaitu bagaimana mencacah orang-orang muslimin selain bangsa Arab. Umar mengikuti cara yang dikenal pada masa jahiliyah yaitu setiap kabilah-kabilah biasanya ada orang-orang yang berpihak dan loyal kepadanya dan mereka adalah bagian dari kabilah tersebut. Maka jika seseorang masuk Islam dan bergabung kepada salah satu suku Arab, maka bagi dirinya adalah bagi sukunya dan atas dirinya juga atas sukunya, serta namanya tercantum bersama nama-nama anggota kabilah tersebut. Dan begitulah apa yang dilakukan Umar, namun ia tidak menjadikan aturan ini sebagai kewajiban, bahkan katanya: “Jika ada kaum asing ingin menjadi suku tersendiri maka lakukanlah, maka bagiannya sebagaimana dirinya menjadi pendukung salah satu kabilah Arab". Namun hendaknya dibayangkan disini posisi orang yang masuk Islam tersebut, bukankah merupakan kemaslahatannya atau kebanggaannya apabila ia bernasab kepada satu kabilah Arab dan hak kewajibannya menjadi hak kewajiban kabilahnya.

Tidaklah syak bahwa orang-orang asing non-Arab akan mengutamakan saat pembagian suatu harta pemberian untuk bernisbat kepada kabilah-kabilah Arab daripada membentuk kumpulan khusus diantara mereka. Marilah kita bayangkan bahwa dahulu kala bangsa-bangsa yang berkuasa menganggap bangsa-bangsa yang diperintah sebagai bangsa yang lebih rendah dari mereka sehingga tidaklah bisa dinisbatkan ke bangsa mereka. Sedang Umar bin Al-Khathab telah membuka bagi orang asing (a’zam) peluang ini sehingga mereka mendapatkannya sebagai suatu keistimewaan yang besar sebagaimana mereka pernah menyandangnya.

Begitulah dapat dipahami bagaimana orang-orang asing telah menisbatkan diri kepada suatu kabilah Arab tanpa merasa riskan bahkan sebagai suatu keistimewaan.Hasil dari ini semua bahwa sistem keuangan telah menjadi sistem Arab, dimana pembagiannya telah didasarkan atas asas kabila-kabilah Arab, sehingga akan berdampak dalam sejarah Islam pada umumnya dan sejarah dinasti Umawiyyah pada khususnya.

Selanjutnya pembicaraan beralih kepada tanah kharraaj. Tanah yang telah menjadi milik Allah atau milik umat ini sengaja dibiarkan ditangan para petani pemilik aslinya, agar mereka mengelolanya dan dapat bekerja melaluinya sehingga dapat membayar kharajnya. Namun disamping pajak kharraj ada pajak lain yang pertama adalah jizyah. Disini tidak akan memperpanjang pembicaraan karena pada awalnya jizyah telah bercampur aduk dengan unsur kharraj, sehingga kadang jizyah telah dipakai untuk pembayaran kharraj dan kharraj digunakan dalam pengertian jizyah, sampai kedua istilah ini menemukan jalannya secara stabil untuk selamanya.

Jadi jizyah itu apa-apa yang diambil dari penduduk yang belum memeluk Islam dan menggunakan tanah kharraj untuk membayar apa-apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan Jizyah adalah pungutan untuk melindungi non-muslim dan menjamin keamanan mereka, namun mereka tidak dilibatkan dalam peperangan, dan jizyah diserahkan ke baitul-maal dan dibagikan kepada orang-orang yang terdaftar dalam kantor pencatat (diwanul-atha') . Diserahkan ke baitul-maal juga seperlima dari rikaz yaitu apa-apa yang dihasilkan dari dalam perut bumi berupa logam dan harta temuan berharga. Begitu pula kaum muslimin memberikan sepersepuluh dari hasil tanah pertaniannya, apabila mereka memiliki tanah dan mewarisinya. Dan diambil dari para pedagang sepersepuluh hasil keuntungannya dan itu semua dihimpun ke dalam baitul-maal.
Sedangkan sedakah dan zakat dimasukkan ke baitul-maal namun tidak dibagikan kepada golongan atha' tapi dibagikan untuk para kaum fakir miskin karena hak mereka sangatlah jelas, yaitu sesuatu yang diambil setiap tahunnya dari harta kalangan berada (kaya). Yang mana harta umat itu setiap empatpuluh tahun masuk ketangan kaum fakir untuk dibelanjakan dan dimanfaatkan darinya.

Jadi, telah berkumpul di dalam baitul-maal setumpuk harta amat besar yang diambil dari berbagai pihak yang telah disebutkan satu persatu tadi. Dan harta itu selalu dibagikan sehingga tidak tersisa pada baitul-maal kecuali sedikit saja yang wajib untuk kebutuhan masa mendatang. Dan Umar memerintahkan para ‘amilinnya untuk membagikan harta-harta tersebut pada waktunya agar tidak menyengsarakan orang-orang akibat keterlambatan pembagian tersebut.

Umar telah melakukan suatu pekerjaan luar biasa dalam mendata dan mencacah dalam kantor pencatat sipil (diwanul ‘atha'), juga dalam sejumlah tanah-tanah kharraj. Telah bergabung dalam melakukan hal ini Utsman bin Hanif dan Hudzaifah bin Yaman pada sejumlah tanah hitam di negeri Irak, dimana diketahui berapa luasnya dan kemudian dicacah. Dan ini suatu pekerjaan yang amat membanggakan tercatat bagi kedua sahabat ini.

Singkat kata, bahwa sistem keuangan pada masa Khulafaur Rasyidin adalah sistem yang terdiri dari beberapa unsur-unsur sistem sosialis, karena rakyat secara serentak ikut serta dalam memberikan pemasukan kepada negara untuk kembli dibagikan kepada mereka. Dan juga suatu sistem yang beberapa sisinya mengandung unsur kesukuan, karena pembagiannya berdasarkan asas kabilah.
Apa yang dapat disimpulkan dari pemaparan yang lalu tentang pembentukan negara pada masa Khulafa Rasyidin?

Dari pendahuluan yang telah kita kedepankan dapatlah ditemukan penafsirannya sekarang, dimana negara (seperti telah disebutkan) adalah negara musyawarah (syura) mengambil dari rakyat segala keputusan hukum dan sumber kehidupannya, yaitu negara yang segala sesuatunya berpusat pada hukum agama. Yaitu negara yang condong pada sistem sosialis dalam menata sistem keuangannya, dan negara bangsa Arab dalam sistem pendistribusian harta dan militernya. Disamping itu semua sebuah negara yang diperintah oleh perorangan yang ditangannya segala kekuasaan, walaupun sebenarnya bersandarkan pada syura atau pembai'atan, namun sang penguasa bisa mengambil apa saja dari keputusan-keputusan, dan bagi umat untuk memperhitungkannya jika ada kesalahan di dalamnya.

Singkat kata bahwa sistem ini adalah sistem keagamaan yang bersandar pada sistem syuura. Kekuasaan diserahkan kepada seseorang yang dipilih oleh Ahlu hilli wal-aqdi (para cerdik dan bijak) dari kalangan bangsa Arab untuk kemudian diakui oleh mayoritas rakyat, dan ia yang terpilih bertanggung jawab kepada mereka. Sedang tanah wilayah negara sepenuhnya milih seluruh umat. Juga semua harta harus masuk ke tangan para fakir setiap empat puluh tahun sekali untuk dibelanjakan demi hajat diri mereka. Dan tujuan kekuasaan untuk yang pertama dan terakhir adalah kemaslahtan umat di dunia dan akherat.

Ini adalah pendahuluan singkat yang bisa mempermudah memasuki peristiwa-peristiwa sejarah, juga memudahkan pemahaman peristiwa fitnah yang terjadi pada masa Utsman. Maka dari sini bahwa kabilah-kabilah Kahlani dan Qahthaani terdiri dari bangsa badawi (berpindah-pindah) dan bangsa yang menetap. Disini nampaknya perlu diperhatikan saat pembahasan pembagian ini antara badawi (pindah-pindah) dan hadhr (tetap).

No comments :

Post a Comment