Friday 10 January 2014

Kumpulan Sejarah Islam

Di dalam blog ini, kami berusaha untuk menyajikan Sejarah tentang dinasti Islam; Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Umawiyah adalah sebuuah Dinasti yang telah ditakdirkan menjadi pelanjut peradaban Islam setelah masa keemasan era Khulafaur-rasyidin. Sebagai sebuah catatan Sejarah, tentu saja blog ini berusaha memaparkan dan menggambarkan secara adil dan proporsional, serta berimbang tentu saja, tentang seluk-beluk peristiwa dan tindak-tanduk para tokoh dan pelaku yang terlibat dalam perjalanan Dinasti Umawiyah. Diambil dari Buku "Dinasti Umawiyah" dan "Dinasti Abbasiyah" dengan penulis Dr Yusuf Al-'Isy (w 1967 M)yang terkenal sebagai pakar sejarah dari Syam, berusaha meluruskan stigma-stigma negatif dan cenderung dilemparkan pada Dinasti ini, tanpa mengesampingkan berbagai "peristiwa hitam" yang memang terjadi dalam kurun tegaknya Daulah Umawiyah ini.

Setelah Dinasti Umawiyah runtuh pada tahun 1300 hijriyah, mulailah Abu Al-Abbas yang bergelar As-Saffah mendirikan negara Islam di Khurasan yang merupakan batu pertama berdirinya Khilafah Islamiyah terbesar yaitu Dinasti Abbasiyah. Karakteristik pemerintahan yang diwarnai corak keislaman tersebut menorehkan prestasi luar biasa yang dicatat oleh tinta emas sepanjang sejarah manusia.

Semoga dengan blog ini diharapkan dapat memberikan gambaran utuh tentang kisah awal berdirinya Dinasti Umawiyah hingga Dinasti Abbasiyah, Biografi para Khalifah yang pernah memimpinnya, catatan peristiwa politik, ekonomi dan sosial yang terjadi di dalamnya, yang kemudian diakhiri dengan kesimpulan tentang "Sosok" masing-masing Dinasti.

Thursday 9 January 2014

Pembentukan Masyarakat: Kabilah-kabilah Arab



Sebuah keniscayaan bagi kita untuk mempelajari sosiologi masyarakat Arab sebelum masuk ke dalam peristiwa-peristiwa bersejarah. Dan masyarakat Arab inilah yang memainkan peranan penting disejarah gemerlapan Islam, dan pengaruhnya amatlah besar. Dan masyarakat Arab pada saat itu terwakili oleh suku (kabilah), karena masyarakat ini terdiri dari beberapa kabilah. Dan memang tatanan bangsa Arab pada dasarnya dibangun diatas kabilah, bahkan dipuncak masa Islam telah diletakkan sebagian kaedah perekonomian atas dasar qabilah tersebut. Inilah, suku-suku tersebut telah berperan dalam menyulut fitnah yang terjadi, dan pada akhirnya meruntuhkan kedaulatan negara Arab yaitu bani Umayyah.

Untuk itu perlu dipelajari disini kondisi suku-suku (kabilah) sebelum masa Islam, karena menjadi kunci pembuka studi kita pada periode ini (Umayyah), dan akan kita pelajari hal ini secara khusus pada abad keenam (masehi) atau pada masa jahiliyah.

Nampak pada masa itu, bangsa Arab telah menjadikan asas masyarakatnya bercabang-cabang menjadi suku-suku (kabilah-kabilah), bahkan hal itu dijadikan oleh mereka asas nasab yang berasal dari hubungan darah daging, sehingga masyarakat Arab bisa dikatakan didasarkan oleh hubungan darah. Lebih dari itu, bangsa Arab sebelumnya telah berpegang pada mazhab yang lebih jauh yaitu meninggikan nasab mereka kepada abad-abad terdahulu, dan memata-rantaikan nasab mereka kepada nenek Ismail dan Ibrahim.

Dan tidaklah disangkal bahwa bangsa Arab itu tidak mampu memberikan silsilah nasab lama mereka secara tepat dan akurat, sebab nasab suku-suku yang mereka sebarluaskan bisa Saja telah terjadi kerancuan dan tumpang tindih, sehingga didapati beberap, suku berinduk kepada kabilah lain sebagai pelindungnya dan berloyal kepadanya, maka kemudian hilanglah jati diri nasabnya, serta melebur kepada kabilah tersebut, sedang hakekatnya tidak ada kedekatan darah antara keduanya.

Sangat penting sekali, disaat mempelajari suku-suku tadi untuk memperhatikan secara jeli sosiologi suku-suku (kabilah) tadi, apakah tergolong masyarakat maju atau terbelakang (badawi), untuk itu nampaknya perlu membagi kabilah dalam tiga bagian yaitu:

Ada beberapa suku-suku yang tergolong dalam deretan peradaban yang terkemuka pada zamannya, sehingga sampai pada taraf mendirikan kerajaan setelah sebelumnya berhasil membangun perkotaan.

Cabang lain dari suku-suku itu ada yang menempati daerah terdepan (hadhar), artinya suku itu berada di perkotaan, meskipun bukan suatu keharusan kota yang dimaksud semaju seperti kota yang lalu, tapi yang jelas warganya tidak terlihat terbelakang (badawi) dengan hidup diperkemahan.

Sedang yang suku ketiga, yaitu yang warganya masih badawi dan mereka merupakan suku yang sering berpindah-pindah, tinggal diperkemahan dan tidak mapan selamanya.

Jika kita telah mengetahui perbedaan ini, maka kita mampu untuk memperlihatkan suku-suku Arab ini dengan jelas, yaitu dengan melihat dari sisi geografi terlebih dahulu. Bangsa Arab sejak zaman dahulu telah terbagi kepada dua bagian yaitu: bagian utara yang terbentang dari daerah Hijaz sampai Syam, dan bagian selatan yaitu didaerah Yaman dan Hadramaut.

Dan pembagian geografis ini disertai dengan pembagian nasab, dimana Arab bagian Utara adalah bangsa Adnan yang bermata nasab kepada Ismail bin Ibrahim, adapun yang diselatan mencap dirinya bangsa Yaman, karena mereka nasab yang tersisa dari bangsa Aribah.

Terlebih dahulu akan dibahas seputar Arab utara, dimana terpecah menjadi dua suku yaitu Mudhir dan Rabeah. Mudhir menempati daerah Utara jaziirah Arab bagian Barat, sedang Rabeah bermukim di Utara jazirah Arab bagian Timur, hanya saja suku ini terpaksa melebarkan wilayahnya sampai kebagian Timur, dan meninggi sampai ke Timur, seperti yang akan kita lihat nanti.

Menengok kepada kabilah Mudhiriyah, sebagian mereka menempati pemukiman yang cukup maju dan berdiam diperkotaan, bisa disebut pada pembagian ini yaitu suku bani Kinanah, juga Bani Quraisy di Mekkah, dan suku Hudzail dipegunungan sekitar kota Mekkah, termasuk diantaranya bangsa Mudhir Tsaqiif yang tinggal di kota Thaif.

Suku Kinanah dan Tsaqiif bisa digolongkan suku yang berkemajuan artinya bukan suku badawi (primitif) Yaitu suku bercirikan pedagang, apalagi suku Quraisy yang tinggal di Mekkah sangat terkenal dengan perdagangannya yang amat besar. Sebagian warganya amatlah kaya seperti Abu Sufyan, Walid bin Mughirah, Utsman bin Affan, dan yang lainnya.

Dan sebagian bangsa Mudhir ada yang tergolong suku badawi. Suku bani Tamiim adalah suku pertama dalam kabilah ini, yaitu suku yang memiliki wibawa dan pengaruh kuat, dan tinggal ditengah jazerah Arab namun menempati perkampungan Badiyah yang kemakmurannya sangatlah kurang serta mengandalkan perpindahan dan peperangan.

Dan suku ini terus berkembang melebar sehingga menggeser wilayah dua suku dari ras Rabi'ah yaitu Bakr dan Taghlib, bahkan menduduki tanah mereka, sehingga mereka terpaksa mengungsi ke daerah Iraq dan menetap disana. Suku bani Tamim cukup disegani dari segi militer, sampai suatu saat namanya mengungguli bangsa Mudhir sendiri yang biasanya dikenal clengan julukan Banuqais (maksudnya bangsa Mudhir)

Suku Hawazin yang tinggal di Timur kota Thaif dan Sulaim yang bermukim di Timur kota Madinah, serta Ghatafaan yang menempati sebelah Utara Khaibar. Dan Ghatafan terdiri dari suku Abas dan Dzubiyaan, keduanya dikenal sebagai suku yang saling berperang sepanjang zaman.

Dari penyebutan suku-suku tadi, bisa kita bayangkan posisi letak bangsa Mudhir di jazerah Arab ini, yaitu telah melebar sampai utara jazerah Arab dan bagian Timurnya, serta telah mendesak keluar suku Rabi'ah ke bagian barat jazerah bahkan hampir mencapai Laut Merah.

Sedang rumpun Rabi'ah, keseluruhannya menempati di daerah Badiyah, terkecuali suku Banu Hanifah dari rumpun Rabi'ah ini menempati daerah bagian Timur jazerah Arab. Dan diantara cabang besar dari suku ini adalah rumpun Wail, dan darinya terdapat suku Bakr dan Taghlib. Dan seperti yang lalu, Bani Tamim telah mengusir kedua suku tersebut hingga sebagian mereka berhijrah ke daerah Iraq, yaitu seluruh suku Taghlib dan sebagian besar dari suku Bakr.

Sedangkan sisa dari suku Bakr lainnya menempati daerah barat laut Barat dan melebar dipelbagai daerah dari Ahsaa sampai ke Iraq dan hidup sangat sederhana (badawiyah). Dan pertikaian terus berlangsung antara Bakr dan Taghlib dalam urusan peternakan atau yang lainnya, hal ini berpulang kepada negara Persia yang sering menciptakan hazazaat antar keduanya, sehingga mereka mampu menakluki keduanya.

Sedang dari rumpun Rabi'ah ada suku Banu Hanifah menempati daerah Yamamah yang terdapat satu kota besar dan dua kota. kecil. Mereka tinggal disekeliling dua kota tersebut dan sebagian bermukim di tengahnya. Namun kebanyakan dari Rumpun Rabiah ini bergaya badawi dan hidup tidak teap serta berpindah-pindah.Dan Banu Hanifah mendirikan negara Hamdzah di Yamamah yaitu sebuah negara kecil. Tersisa dari rumpun Rabi'ah beberapa suku besar diantaranya Bani Abdul Qais yang bermukim di Bahrain dan sepanjang tepiannya, namun suku ini terus menerus hidup dalam keadaan labil dan terbelakang. Juga ada anak suku Bani Asdu yang memanjang dari arah rumpun Rabiah menuju bagian Utara dari Jazerah Arabia. Tapi bani Thayi datang ke tempat mereka dan sedikit demi sedikit mengusir keluar mereka dengan perang dan membinasakan mereka, sampai menguasai kebanyakan dari tanah mereka. Dan bani Asdu hidup dengan cara tertinggal meskipun dari sisi teknik berperang suku ini ini tidak sepiawai suku-suku badui lainnya.

Berikut, secara singkat penjelasan tentang kabilah-kabilah Adnaan dan pembagian wilayah mereka di seluruh jazerah Arab. Kabilah ini terbagi dua macam, pertama bangsa yang berbudaya biasa yaitu yang tidak mencapai tingkat bernegara atau berperadaban, Sedang kedua bangsa barbar dan badui yang mereka senang hidup tidak tetap dan berpindah-pindah, dan mereka mayoritas dari kabilah ini.

Adapun Arab disebelah selatan, pada dasarnya mereka bangsa yang beradab, dan peradaban mereka ditarik ke masa peradaban pertama mereka adalah peradaban Mu'ayyiniyyah yang ada pada alaf kedua sebelum tahun miladiyah. Kedua, peradaban Himyariyyah yang muncul pada penghujung menjelang tahun miladiyah dan peradaban sebelumnya (Mu'ayyiniyah) telah runtuh. Sehingga yang tersisa hanya dua peradaban yaitu Sabaiyyah dan Himyariyyah yang keduanya sama-sama menjadi peradaban yang maju dan menjadi dua cabang besar dari bangsa Arab. Selanjutnya Sabaiyyah dinisbahkan kepada bangsa Kahlaan dan Hamiiriyyah kepada bangsa Qahthaan. Adapun sebuah musibah besar telah menimpa bangsa Kahlan yaitu banjir besar yang telah merusak bendungan Ma'rab dan mengakibatkan hilangnya banyak kota. Dan orang-orang Kahlan tidak mampu bertahan lagi hidup di Yaman sehingga mereka mengungsi keluar darinya. Para ahli sejarah tidak mengetahui secara pasti kapan runtuhnya bendungan Ma'rab tersebut, tapi penukilan terdekat menyatakan peristiwa itu terjadi pada permulaan tahun masehi. Namun demikian bahwa rusaknya bendungan Ma'rab ini bukan satu-satunya sebab bereksodusnya bangsa Kahlan dari Yaman, karena faktor perniagaan mereka terancam mati akibat pengaruh bangsa Byzantium dan Yunani yang mampu mencapai sebagian daerah yang biasa dimanfaatkan bangsa Kahlan sehingga semakin susutlah profesi dan modal harta mereka, sampai datang badai banjir kemudian mereka berhijrah.

Untuk itu akan dikenang beberapa suku Kahlan dan kisah pengungsiannya:

Diantara suku-suku Kahlan adalah kabilah besar Azdu dan Ghassasinah yang bermukim di selatan Syam dan mereka mendirikan kerajaan yaitu kerajaan Bani Jafnah. Juga ada suku Aus dan Khazraj, keduanya berhijrah ke utara Mekkah dan berdiam di Madinah serta menjadi bangsa yang beradab. Tapi keduanya terus menerus berselisih yang menghalangi keduanya membentuk tatanan baru untuk membentuk sebuah peradaban seperti peradaban Ghassaasanah, bahkan terjadi peristiwa antara keduanya dan suku Mudhirrin karena keduanya memasuki wilayah tanah Mudhir.

Termasuk bangsa Kahlan adalah suku Lakham yang bergerak keatas ke arah Utara sampai ke sebelah barat Irak dan mendirikan sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Hiirah. Dan kerajaan Hiirah berhadapan didepan kerajaan Ghassaan dan keduanya saling berseteru yang digerakan oleh pihak-pihak asing. Dimana satu sisi bangsa parsi mendorong kerajaan Hiirah dan disisi lain bangsa Romawi menggerakkan bangsa Ghassaan.

Kembali kepada suku Azud, dapat dilihat bahwa mereka menciptakan suatu tatanan sosial di negeri Omman yaitu pemerintahan Julandi diakhir masa jahiliyah. Akan tetapi tatanan ini tidak tampak cukup berbudaya sebagaimana mestinya. Cabang dari suku Azud ini pada gilirannya akan berperan penting dalam sejarah Islam seperti yang akan kita saksikan , walau penilaian beberapa kabilah terhadapnya tidaklah cukup baik.

Tergolong bangsa Kahlan juga adalah suku Kindah. Mereka ingin menjadi dinasti yang disegani, sehingga mereka berpindah ke Utara Jazerah Arab dan mencoba menguasai daerah Najed serta merangkul suku-suku yang masih terbelakang dan upaya ini hampir tercapai kalau saja Islam tidak muncul kemudian dan akan mengancam kerajaan mereka. Singkat kata mereka sempat menguasai kabilah Mudhiriyyah tanpa suku Kinanah dan Tsaqiif.

Dan termasuk bangsa Kahlan adalah suku Thayyi' , yaitu suku yang bisa dinilai mengusir bani Asad dari tempat asalnya disebelah utara Jazeerah Arab, dan mereka berdiam menduduki-nya serta hidup dengan gaya badui dan tidaklah menetap, sehingga yang tersisa sampai hari ini dari kabilah ini adalah suku Syamar. Sedangkan bangsa Qahthan mayoritas menetap di negeri Yaman, dan terkikis habis negeri mereka akibat dampak asing yang datang dari Habasyah, diantaranya banu Harits, Madzhaj, dan Hamdaan. Ada satu suku berhijrah ke negeri Syaam yaitu suku Bani Kalb dan suku ini akan berperan penting pada masa berikutnya. Sedang suku yang lain berhijrah ke utara laut merah, yaitu suku Udzrah, dan mereka diperkirakan bermukim ditengah kaum Mudhirrin.

Maka dari sini bahwa kabilah-kabilah Kahlani dan Qahthaani terdiri dari bangsa badawi (berpindah-pindah) dan bangsa yang menetap. Disini nampaknya perlu diperhatikan saat pembahasan pembagian ini antara badawi (pindah-pindah) dan hadhr (tetap).

Friday 3 January 2014

Wilayah



Khalifah Umar bin Al-Khatab telah meletakkan sistem wilayah-wilayah negara Islam pada masa khilafah rasyidin dalam bentuk final. Sedang Abu Bakar telah meletakan asas-asas pertama sistem ini dengan mengirim tentara untuk melakukan futuhaat yang dipimpin oleh seorang panglima militer. Menurutnya panglima itulah yang mengatur daerah-daerah yang dibukanya. Adapun Umar bin Al-Khatab meletakkan system pembagian wilayah ini sampai menjadi mapan, dimana pada masanya seorang wali pemerintahan dijuluki dengan Amiir (orang pertama yang menyandang gelar Amiir ini adalah Mughirah bin syu'bah) maka selanjutnya sebutan ini berlaku untuk para panglima dan wali pemerintahan.

Dan seorang Amiir baginya adalah pemegang kekuasaan (sulthan) khalifah di daerahnya, sebab ditangannyalah terdapat tiga kekuasaan, baik tasyri'iyyah (legislative) yaitu kekuasaan yang dirujukkan kepada sang khalifah, atau tanfiidziyyah (eksekutif) dalam mengurus wilayahnya, serta qadhaiyyah (yudikatif) dalam hal itu juga. Namun oleh khalifah Umar ketiga kekuasaan tadi dilepas satu demi satu dan dipisahkan, serta menyisakan kekuasaan eksekutif untuk Amiir beserta kewenangan Imamah di masjid.

Beliau juga memisahkan sistem peradilan (Qadha), maka ditunjuklah beberapa qadhi diberbagai wilayah. Juga memisahkan sistem kharraaj dengan menunjuk para petugas pengambil kharraaj dan shadaqah.

Seorang Qadhi memutuskan gugatan-gugatan ditengah masyarakat, membagi hasil fa'i atau mengawasi pendistribusi¬annya, juga memantau kondisi para anak-anak yatim dan para janda serta harta-harta mereka.

Adapun penanggungjawab kharraaj adalah pengawas atas pengaturan harta berian dan penghimpunannya dan harta sedekah.

Kendati demikian para wali, qadhi dan para pegawai negara tadi kembali dan tunduk mereka kepada sang khalifah yang menunjuk dan memberhentikan mereka. Dan sistem ini terus berjalan sampai akhir masa khilafah rasyidin.

Khilafah



Dan ini kita mulai dengan menyebutkan tatanan Khilafah. Yang meletakkan sistem khilafah ini adalah Abu Bakar melalui proses syura dari para sahabat, bahkan seluruh tatanan yang ada dibuat melalui musyawarah dan mengambil pendapat para sahabat.

Apakah sistem khilafah itu?

Khalifah yaitu penerus Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan makna ini memberikan arahan khilafah, karena penerus Nabi yaitu yang berjalan pada tapak tilas (sirah)nya dan juga baginya kekuasaan penuh. Tetapi hal ini berlainan dengan kenabian yang khusus disandang oleh pembawa Risalah, sebab seorang Rasul senantiasa bertindak demi kemaslahatan umum dan mengarahkannya, juga melihat segala urusan ad-dien serta mengarahkannya. Sehingga seorang khalifah setidaknya melakukan dua perkara penting tadi. Demikian juga ia menghimpun antara imamah dan imarah, baik imamah dalam urusan agama (addien) dan imarah dalam urusan dunia. Dan seluruhnya mengambil wilayah kemaslahatan umum yang ditegakkan dengan nama Allah. Dan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah maka kalau harta itu menjadi harta Allah, dan kalau kepemilikan menjadi milik Allah, dan jika itu masjid menjadi masjid Allah.

Kendati kekhalifahan itu menjadi representative kekuasaan Allah diatas bumi, namun sebenarnya tidak ada pendelegasian langsung dari Allah, bahkan Rasul belum sempat menunjuk seorang khalifah penggantinya. Sehinga seorang khalifah harus menghimpun kekuasaannya dari segala penjuru, sehingga nampak dengan nyata bahwa kekuasaan itu tersumber dari ummat, dan khalifah terlihat sebagai wakil kepentingan bagi rakyat dan umat. Dan Allah menganugerahkan syariat yang bisa berlaku bagi rakyat dan umat. Sehingga satu sisi seorang khalifah merupakan perwakilan dari rakyat dan umat tersebut, dan disisi lain juga sebagai penegak syariat Allah ditengah masyarakat manusia.

Menjadi keharusan rakyat itu sejalan dengan khalifahnya, karena jika tidak setuju dengannya maka tidak mungkin menjadi khalifahnya. Dan ekspresi persetujuan itu melalui bai'at, dan bai'at itu merupakan keniscayaan bagi seorang khalifah, karena kekuasaan yang dimilikinya bersumber melalui bai'at tersebut. Biasanya bai'at dilakukan oleh ahlu hill wal aqd, atau para sahabah dan cendikawan serta tokoh umat, dan bisa dilaksana-kan oleh para pemegang urusan (kekuasaan) umat.

Seandainya rakyat adalah satu-satunya yang menyetujui seorang khalifah, dan menyerahkan kekuasaan kepadanya, maka rakyat pula yang menjelaskan kepadanya kesalahannya jika ia berbuat salah. Rakyat jualah yang ikut berpartisipasi bersama sang khalifah dalam mengelola kekuasaan, kendati partisipasi tersebut dalam batas yang digariskan oleh khalifah. Biasanya seorang khalifah memilih beberapa orang dari kalangan umat yang bisa dijadikan tempat berkonsultasi dan bermusyawarah, sehingga terbentuklah semacam Majlis Syura (Permusyawaratan) bagi kekhalifahan, dan bukanlah rakyat yang memilih anggota majlis syura tersebut.

Kemudian seorang khalifah berkonsultasi kepada majelis tersebut, namun putusan terakhir hanya ada ditangannya, dan dirinya-lah yang menetapkan secara final apa yang harus ia putuskan. Sehingga bagi rakyat dan umatlah yang berhak menilai apa yang ia putuskan, dan hal ini yang pernah terjadi pada sekelompok rakyat yang ingin menyoalkan Utsman bin Affan atas segala yang telah ia laksanakan.

Jadi disini rakyat ikut terlibat, baik dalam pemberian kekuasaan kepada khalifah melalui pembai'atannya, dan dalam penguraian kesalahah khalifah jika ia bersalah, serta berpartisipasi dalam permusyawaratan. Dan itu semua berlangsung dalam bingkai demokratisasi dalam sistem khilafah, dan juga dalam bingkai monolitasasi dimana khilafah adalah penyandang pendapat akhir, sehingga apa yang ia putuskan itulah yang dipatuhi.

Dan sepintas sistem (khilaafah) ini pada dasarnya adalah sistem keagamaan, dimana seorang khalifah mengambil sumber kekuasaannya dari Allah, dan ia dinyatakan menjalankan perintah Allah dengan melaksanakan hukum aturan yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, begitupula dengan ba'iat dilakukan berdasarkan kitab suci Al-Quran dan As-Sunnah. Setidaknya hal ini yang menampakkan sisi mayoritas keagamaan dalam sistem ini.

Meski begitu dua sisi demokrasi dan keagamaan bersinergi satu sama lainnya dalam satu tempat yaitu masjid. Pusat pemerintahan khalifah dipusatkan di masjid, dimana sang khalifah memutuskan segala urusan negara dan menyebar luaskan segala keputusannya dari tempat itu, Juga berkomunikasi dengan para duta dan utusan asing serta menegakkan sholat dan khutbah didalamnya.

Masjid adalah rumah Allah dan kediaman semua orang, baik bagi rakyat ataupun bagi sang khalifah, artinya disini masjid adalah pusat keagamaan dan disatu waktu sebagai pusat kerakyatan. Seorang khalifah disaat memutuskan sebuah rancangan baru, biasanya mengumumkannya kepada khalayak dari atau diatas mimbar, seakan mimbar menjadi media resmi yang menyiarkan undang-undang atau peraturan.

Tidaklah disangkal lagi, bahwa semua orang akan mendengar seorang khalifah dari atas mimbar menyiarkan ketetapan-ketetapan yang dibuatnya, sehingga sebagian orang bisa menyampaikan pendapatnya tentang ketetapan tersebut, disini bisa terlihat jelas gambaran demokrasi dalam sebuah pemerintahan.

Dan jika kembali kepada unsur monolit dalam sistem khilafah, kita temukan adanya kekuasaan individu, walaupun bukan seperti kekuasaan individu yang didapati pada bangsa yang lain, yaitu kekuasaan individu yang bersifat warisan. Disini kekuasaan tidaklah diwariskan dan tidak bersinambung kepada orang atau golongan tertentu. Dan ini menunjukan sisi lain dari sisi demokrasi yaitu bersifat terbuka untuk dimiliki rakyat, dan setiap rakyat berhak menjadi khalifah, jika memang benar ia memiliki keunggulan dan kelebihan sebagai syarat seorang khalifah.

Hanya saja seorang khalifah mempunyai kekuasaan yang sangat luas, maka tidak didapati pada sistem khulafau rasyidin pembagian kekuasaan dan pembatasannya, sebagaimana dimaklumi saat ini adanya tiga macam kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada pemerintahaan masa itu, ketiga kekuasaan tadi ada ditangan sang khalifah, namun dia bisa melakukan pendelegasian kekuasaan kepada yang lain, seperti bisa mewakilkan kekuasaan yudikatif kepada seorang Qadhi, namun si-hakim (qadhi) harus mengikutinya, dan seorang khalifah berhak menggantinya dengan orang yang lain kapan saja diinginkannya. Begitu juga undang-undang (legislative) juga merupakan hak kekuasaan khalifah, tapi pada batas Al-Quran dan Hadits. Sedang kekuasaan eksekutif merupakan miliknya yang seluas-luasnya dan tanpa batas, terkecuali yang telah ditetapkan oleh syara'.

Sedang jabatan menteri yang biasa kita lihat dalam sistem-sistem lainnya tidak nampak tersebut dengan nama dalam bentuk negara khilafah ini, namun dalam prakteknya ada, karena biasanya seorang khalifah dibantu oleh para tenaga ahli dari para sahabat. Sebagai contoh Umar adalah menteri dimasa Abu Bakar, dan Utsman adalah menteri dimasa Umar. Dan khalifah memberi kewenangan kepada para sahabat untuk mengangkat beberapa orang yang dipercaya untuk menjalankan tugas-tugas dan menangani urusan-urusan yang ada. Juga untuk mengambil kewajiban zakat, shadaqah, pajak, seta menjalankan kewenangan peradilan, pembangunan, pertahanan (militer) dan semacamnya. Hanya saja, sebagaimana kita lihat bahwa khalifah adalah kepala atau pimpinan dalam segala hal, sedang lainnya menjalankan tugas bersama khalifah tapi tidak memiliki kewenangan yang luas.

Sistem Hukum (Pemerintahan) di Masa Umar bin Al-Khathab



Jika sejarah pada masa Islam akan dipelajari secara teliti dan dalam, wajib untuk mengetahui sistem negara yang dianut pada zaman tersebut. Sistemlah yang memberikan kepada suatu zaman bobot nilainya, karena dialah yang menghadapinya dan terjadi didalamnya aliran-aliran yang bermacam-macam. Bahkan sistem ini jikalau kita mengambilnya pada akhir masa Umar bin Al-Khatab, dapatlah kita memahami sebuah negara Islam secara paripurna khususnya pada perkara-perkara yang besar.

Maka sistem yang ada pada masa Umar adalah sistem yang terkonsentrasi pada urusan khilafah, yaitu memberi tafsiran kepada kita tentang peristiwa-peristiwa pada masa Islam, bahkan pada masa dinasti Umawiyah.

Hanya saja sistem ini tidak diletakkan sekaligus melainkan secara berangsur, satu bagian datang pada suatu waktu kemudian diikuti bagian lain setelahnya. Dan peristiwa-peristiwa itulah yang memberi gagasan sistem tersebut, karena ialah yang merekamnya. Kejadian-kejadian itu berjalan dengan "cepat meskipun saat itu belum ada dipuncak kepala negara Islam dua orang laki-laki yang mengecilkan lafal keagungan dihadapan urusan keduanya, serta membahayakan arus kejadian yang ditaruh sistem itu, maka didapatlah didalamnya penyakit dimana menimbulkan keributan dan ketidakstabilan. Namun Abu bakar dan Umar mampu bersikap sebaik-baiknya dengan kecerdasan yang langka ditemukan dalam sejarah, dan dengan baik jejak keduanya diikuti Utsman pada enam tahun pertama dari masa kekhilafahannya, sampai zaman terjadinya tragedi fitnah. Dan meskipun kejadian itu berlari dengan cepat namun pikiran tiga khalifah tersebut juga berlalu secepat kejadian itu, bahkan terkadang peristiwa yang terjadi mendahului benak pikiran mereka, namun mereka selamanya jernih pikiran, teroganisir, jauh jangkauan, dan dalam pandangannya.

Jika terhitung bahwa Umar bin Al-Khatab sebagai khalifah yang paling lama memerintah maka dialah yang banyak meletakkan bagian terbesar dari sistem tersebut, juga memeliharanya dari arah yang salah. Seandainya masa khilafahnya bertahan lebih lama dari yang sebenarnya maka sistem pemerintahan ini akan lebih mendalam, lebih bermaslahat, dan lebih luas.