Friday, 3 January 2014

Khilafah



Dan ini kita mulai dengan menyebutkan tatanan Khilafah. Yang meletakkan sistem khilafah ini adalah Abu Bakar melalui proses syura dari para sahabat, bahkan seluruh tatanan yang ada dibuat melalui musyawarah dan mengambil pendapat para sahabat.

Apakah sistem khilafah itu?

Khalifah yaitu penerus Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan makna ini memberikan arahan khilafah, karena penerus Nabi yaitu yang berjalan pada tapak tilas (sirah)nya dan juga baginya kekuasaan penuh. Tetapi hal ini berlainan dengan kenabian yang khusus disandang oleh pembawa Risalah, sebab seorang Rasul senantiasa bertindak demi kemaslahatan umum dan mengarahkannya, juga melihat segala urusan ad-dien serta mengarahkannya. Sehingga seorang khalifah setidaknya melakukan dua perkara penting tadi. Demikian juga ia menghimpun antara imamah dan imarah, baik imamah dalam urusan agama (addien) dan imarah dalam urusan dunia. Dan seluruhnya mengambil wilayah kemaslahatan umum yang ditegakkan dengan nama Allah. Dan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah maka kalau harta itu menjadi harta Allah, dan kalau kepemilikan menjadi milik Allah, dan jika itu masjid menjadi masjid Allah.

Kendati kekhalifahan itu menjadi representative kekuasaan Allah diatas bumi, namun sebenarnya tidak ada pendelegasian langsung dari Allah, bahkan Rasul belum sempat menunjuk seorang khalifah penggantinya. Sehinga seorang khalifah harus menghimpun kekuasaannya dari segala penjuru, sehingga nampak dengan nyata bahwa kekuasaan itu tersumber dari ummat, dan khalifah terlihat sebagai wakil kepentingan bagi rakyat dan umat. Dan Allah menganugerahkan syariat yang bisa berlaku bagi rakyat dan umat. Sehingga satu sisi seorang khalifah merupakan perwakilan dari rakyat dan umat tersebut, dan disisi lain juga sebagai penegak syariat Allah ditengah masyarakat manusia.

Menjadi keharusan rakyat itu sejalan dengan khalifahnya, karena jika tidak setuju dengannya maka tidak mungkin menjadi khalifahnya. Dan ekspresi persetujuan itu melalui bai'at, dan bai'at itu merupakan keniscayaan bagi seorang khalifah, karena kekuasaan yang dimilikinya bersumber melalui bai'at tersebut. Biasanya bai'at dilakukan oleh ahlu hill wal aqd, atau para sahabah dan cendikawan serta tokoh umat, dan bisa dilaksana-kan oleh para pemegang urusan (kekuasaan) umat.

Seandainya rakyat adalah satu-satunya yang menyetujui seorang khalifah, dan menyerahkan kekuasaan kepadanya, maka rakyat pula yang menjelaskan kepadanya kesalahannya jika ia berbuat salah. Rakyat jualah yang ikut berpartisipasi bersama sang khalifah dalam mengelola kekuasaan, kendati partisipasi tersebut dalam batas yang digariskan oleh khalifah. Biasanya seorang khalifah memilih beberapa orang dari kalangan umat yang bisa dijadikan tempat berkonsultasi dan bermusyawarah, sehingga terbentuklah semacam Majlis Syura (Permusyawaratan) bagi kekhalifahan, dan bukanlah rakyat yang memilih anggota majlis syura tersebut.

Kemudian seorang khalifah berkonsultasi kepada majelis tersebut, namun putusan terakhir hanya ada ditangannya, dan dirinya-lah yang menetapkan secara final apa yang harus ia putuskan. Sehingga bagi rakyat dan umatlah yang berhak menilai apa yang ia putuskan, dan hal ini yang pernah terjadi pada sekelompok rakyat yang ingin menyoalkan Utsman bin Affan atas segala yang telah ia laksanakan.

Jadi disini rakyat ikut terlibat, baik dalam pemberian kekuasaan kepada khalifah melalui pembai'atannya, dan dalam penguraian kesalahah khalifah jika ia bersalah, serta berpartisipasi dalam permusyawaratan. Dan itu semua berlangsung dalam bingkai demokratisasi dalam sistem khilafah, dan juga dalam bingkai monolitasasi dimana khilafah adalah penyandang pendapat akhir, sehingga apa yang ia putuskan itulah yang dipatuhi.

Dan sepintas sistem (khilaafah) ini pada dasarnya adalah sistem keagamaan, dimana seorang khalifah mengambil sumber kekuasaannya dari Allah, dan ia dinyatakan menjalankan perintah Allah dengan melaksanakan hukum aturan yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, begitupula dengan ba'iat dilakukan berdasarkan kitab suci Al-Quran dan As-Sunnah. Setidaknya hal ini yang menampakkan sisi mayoritas keagamaan dalam sistem ini.

Meski begitu dua sisi demokrasi dan keagamaan bersinergi satu sama lainnya dalam satu tempat yaitu masjid. Pusat pemerintahan khalifah dipusatkan di masjid, dimana sang khalifah memutuskan segala urusan negara dan menyebar luaskan segala keputusannya dari tempat itu, Juga berkomunikasi dengan para duta dan utusan asing serta menegakkan sholat dan khutbah didalamnya.

Masjid adalah rumah Allah dan kediaman semua orang, baik bagi rakyat ataupun bagi sang khalifah, artinya disini masjid adalah pusat keagamaan dan disatu waktu sebagai pusat kerakyatan. Seorang khalifah disaat memutuskan sebuah rancangan baru, biasanya mengumumkannya kepada khalayak dari atau diatas mimbar, seakan mimbar menjadi media resmi yang menyiarkan undang-undang atau peraturan.

Tidaklah disangkal lagi, bahwa semua orang akan mendengar seorang khalifah dari atas mimbar menyiarkan ketetapan-ketetapan yang dibuatnya, sehingga sebagian orang bisa menyampaikan pendapatnya tentang ketetapan tersebut, disini bisa terlihat jelas gambaran demokrasi dalam sebuah pemerintahan.

Dan jika kembali kepada unsur monolit dalam sistem khilafah, kita temukan adanya kekuasaan individu, walaupun bukan seperti kekuasaan individu yang didapati pada bangsa yang lain, yaitu kekuasaan individu yang bersifat warisan. Disini kekuasaan tidaklah diwariskan dan tidak bersinambung kepada orang atau golongan tertentu. Dan ini menunjukan sisi lain dari sisi demokrasi yaitu bersifat terbuka untuk dimiliki rakyat, dan setiap rakyat berhak menjadi khalifah, jika memang benar ia memiliki keunggulan dan kelebihan sebagai syarat seorang khalifah.

Hanya saja seorang khalifah mempunyai kekuasaan yang sangat luas, maka tidak didapati pada sistem khulafau rasyidin pembagian kekuasaan dan pembatasannya, sebagaimana dimaklumi saat ini adanya tiga macam kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada pemerintahaan masa itu, ketiga kekuasaan tadi ada ditangan sang khalifah, namun dia bisa melakukan pendelegasian kekuasaan kepada yang lain, seperti bisa mewakilkan kekuasaan yudikatif kepada seorang Qadhi, namun si-hakim (qadhi) harus mengikutinya, dan seorang khalifah berhak menggantinya dengan orang yang lain kapan saja diinginkannya. Begitu juga undang-undang (legislative) juga merupakan hak kekuasaan khalifah, tapi pada batas Al-Quran dan Hadits. Sedang kekuasaan eksekutif merupakan miliknya yang seluas-luasnya dan tanpa batas, terkecuali yang telah ditetapkan oleh syara'.

Sedang jabatan menteri yang biasa kita lihat dalam sistem-sistem lainnya tidak nampak tersebut dengan nama dalam bentuk negara khilafah ini, namun dalam prakteknya ada, karena biasanya seorang khalifah dibantu oleh para tenaga ahli dari para sahabat. Sebagai contoh Umar adalah menteri dimasa Abu Bakar, dan Utsman adalah menteri dimasa Umar. Dan khalifah memberi kewenangan kepada para sahabat untuk mengangkat beberapa orang yang dipercaya untuk menjalankan tugas-tugas dan menangani urusan-urusan yang ada. Juga untuk mengambil kewajiban zakat, shadaqah, pajak, seta menjalankan kewenangan peradilan, pembangunan, pertahanan (militer) dan semacamnya. Hanya saja, sebagaimana kita lihat bahwa khalifah adalah kepala atau pimpinan dalam segala hal, sedang lainnya menjalankan tugas bersama khalifah tapi tidak memiliki kewenangan yang luas.

No comments :

Post a Comment