Dan ini kita mulai dengan menyebutkan tatanan Khilafah. Yang
meletakkan sistem khilafah ini adalah Abu Bakar melalui proses syura dari para
sahabat, bahkan seluruh tatanan yang ada dibuat melalui musyawarah dan
mengambil pendapat para sahabat.
Apakah sistem khilafah itu?
Khalifah yaitu penerus Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
dan makna ini memberikan arahan khilafah, karena penerus Nabi yaitu yang berjalan
pada tapak tilas (sirah)nya dan juga baginya kekuasaan penuh. Tetapi hal ini
berlainan dengan kenabian yang khusus disandang oleh pembawa Risalah, sebab
seorang Rasul senantiasa bertindak demi kemaslahatan umum dan mengarahkannya,
juga melihat segala urusan ad-dien serta mengarahkannya. Sehingga seorang
khalifah setidaknya melakukan dua perkara penting tadi. Demikian juga ia
menghimpun antara imamah dan imarah, baik imamah dalam urusan agama (addien)
dan imarah dalam urusan dunia. Dan seluruhnya mengambil wilayah kemaslahatan
umum yang ditegakkan dengan nama Allah. Dan segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada Allah maka kalau harta itu menjadi harta Allah, dan kalau kepemilikan
menjadi milik Allah, dan jika itu masjid menjadi masjid Allah.
Kendati kekhalifahan itu menjadi representative kekuasaan
Allah diatas bumi, namun sebenarnya tidak ada pendelegasian langsung dari
Allah, bahkan Rasul belum sempat menunjuk seorang khalifah penggantinya.
Sehinga seorang khalifah harus menghimpun kekuasaannya dari segala penjuru,
sehingga nampak dengan nyata bahwa kekuasaan itu tersumber dari ummat, dan
khalifah terlihat sebagai wakil kepentingan bagi rakyat dan umat. Dan Allah
menganugerahkan syariat yang bisa berlaku bagi rakyat dan umat. Sehingga satu
sisi seorang khalifah merupakan perwakilan dari rakyat dan umat tersebut, dan
disisi lain juga sebagai penegak syariat Allah ditengah masyarakat manusia.
Menjadi keharusan rakyat itu sejalan dengan khalifahnya,
karena jika tidak setuju dengannya maka tidak mungkin menjadi khalifahnya. Dan
ekspresi persetujuan itu melalui bai'at, dan bai'at itu merupakan keniscayaan
bagi seorang khalifah, karena kekuasaan yang dimilikinya bersumber melalui
bai'at tersebut. Biasanya bai'at dilakukan oleh ahlu hill wal aqd, atau para
sahabah dan cendikawan serta tokoh umat, dan bisa dilaksana-kan oleh para
pemegang urusan (kekuasaan) umat.
Seandainya rakyat adalah satu-satunya yang menyetujui
seorang khalifah, dan menyerahkan kekuasaan kepadanya, maka rakyat pula yang
menjelaskan kepadanya kesalahannya jika ia berbuat salah. Rakyat jualah yang
ikut berpartisipasi bersama sang khalifah dalam mengelola kekuasaan, kendati
partisipasi tersebut dalam batas yang digariskan oleh khalifah. Biasanya
seorang khalifah memilih beberapa orang dari kalangan umat yang bisa dijadikan
tempat berkonsultasi dan bermusyawarah, sehingga terbentuklah semacam Majlis
Syura (Permusyawaratan) bagi kekhalifahan, dan bukanlah rakyat yang memilih
anggota majlis syura tersebut.
Kemudian seorang khalifah berkonsultasi kepada majelis
tersebut, namun putusan terakhir hanya ada ditangannya, dan dirinya-lah yang
menetapkan secara final apa yang harus ia putuskan. Sehingga bagi rakyat dan
umatlah yang berhak menilai apa yang ia putuskan, dan hal ini yang pernah
terjadi pada sekelompok rakyat yang ingin menyoalkan Utsman bin Affan atas
segala yang telah ia laksanakan.
Jadi disini rakyat ikut terlibat, baik dalam pemberian
kekuasaan kepada khalifah melalui pembai'atannya, dan dalam penguraian
kesalahah khalifah jika ia bersalah, serta berpartisipasi dalam
permusyawaratan. Dan itu semua berlangsung dalam bingkai demokratisasi dalam
sistem khilafah, dan juga dalam bingkai monolitasasi dimana khilafah adalah
penyandang pendapat akhir, sehingga apa yang ia putuskan itulah yang dipatuhi.
Dan sepintas sistem (khilaafah) ini pada dasarnya adalah
sistem keagamaan, dimana seorang khalifah mengambil sumber kekuasaannya dari
Allah, dan ia dinyatakan menjalankan perintah Allah dengan melaksanakan hukum
aturan yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, begitupula dengan ba'iat
dilakukan berdasarkan kitab suci Al-Quran dan As-Sunnah. Setidaknya hal ini
yang menampakkan sisi mayoritas keagamaan dalam sistem ini.
Meski begitu dua sisi demokrasi dan keagamaan bersinergi
satu sama lainnya dalam satu tempat yaitu masjid. Pusat pemerintahan khalifah
dipusatkan di masjid, dimana sang khalifah memutuskan segala urusan negara dan
menyebar luaskan segala keputusannya dari tempat itu, Juga berkomunikasi dengan
para duta dan utusan asing serta menegakkan sholat dan khutbah didalamnya.
Masjid adalah rumah Allah dan kediaman semua orang, baik
bagi rakyat ataupun bagi sang khalifah, artinya disini masjid adalah pusat
keagamaan dan disatu waktu sebagai pusat kerakyatan. Seorang khalifah disaat
memutuskan sebuah rancangan baru, biasanya mengumumkannya kepada khalayak dari
atau diatas mimbar, seakan mimbar menjadi media resmi yang menyiarkan
undang-undang atau peraturan.
Tidaklah disangkal lagi, bahwa semua orang akan mendengar
seorang khalifah dari atas mimbar menyiarkan ketetapan-ketetapan yang
dibuatnya, sehingga sebagian orang bisa menyampaikan pendapatnya tentang
ketetapan tersebut, disini bisa terlihat jelas gambaran demokrasi dalam sebuah
pemerintahan.
Dan jika kembali kepada unsur monolit dalam sistem khilafah,
kita temukan adanya kekuasaan individu, walaupun bukan seperti kekuasaan
individu yang didapati pada bangsa yang lain, yaitu kekuasaan individu yang
bersifat warisan. Disini kekuasaan tidaklah diwariskan dan tidak bersinambung
kepada orang atau golongan tertentu. Dan ini menunjukan sisi lain dari sisi
demokrasi yaitu bersifat terbuka untuk dimiliki rakyat, dan setiap rakyat
berhak menjadi khalifah, jika memang benar ia memiliki keunggulan dan kelebihan
sebagai syarat seorang khalifah.
Hanya saja seorang khalifah mempunyai kekuasaan yang sangat
luas, maka tidak didapati pada sistem khulafau rasyidin pembagian kekuasaan dan
pembatasannya, sebagaimana dimaklumi saat ini adanya tiga macam kekuasaan yaitu
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada pemerintahaan masa itu,
ketiga kekuasaan tadi ada ditangan sang khalifah, namun dia bisa melakukan
pendelegasian kekuasaan kepada yang lain, seperti bisa mewakilkan kekuasaan
yudikatif kepada seorang Qadhi, namun si-hakim (qadhi) harus mengikutinya, dan
seorang khalifah berhak menggantinya dengan orang yang lain kapan saja
diinginkannya. Begitu juga undang-undang (legislative) juga merupakan hak
kekuasaan khalifah, tapi pada batas Al-Quran dan Hadits. Sedang kekuasaan
eksekutif merupakan miliknya yang seluas-luasnya dan tanpa batas, terkecuali
yang telah ditetapkan oleh syara'.
Sedang jabatan menteri yang biasa kita lihat dalam
sistem-sistem lainnya tidak nampak tersebut dengan nama dalam bentuk negara
khilafah ini, namun dalam prakteknya ada, karena biasanya seorang khalifah
dibantu oleh para tenaga ahli dari para sahabat. Sebagai contoh Umar adalah
menteri dimasa Abu Bakar, dan Utsman adalah menteri dimasa Umar. Dan khalifah
memberi kewenangan kepada para sahabat untuk mengangkat beberapa orang yang
dipercaya untuk menjalankan tugas-tugas dan menangani urusan-urusan yang ada.
Juga untuk mengambil kewajiban zakat, shadaqah, pajak, seta menjalankan
kewenangan peradilan, pembangunan, pertahanan (militer) dan semacamnya. Hanya
saja, sebagaimana kita lihat bahwa khalifah adalah kepala atau pimpinan dalam
segala hal, sedang lainnya menjalankan tugas bersama khalifah tapi tidak
memiliki kewenangan yang luas.
No comments :
Post a Comment